Oleh: Maulana M. Syuhada (Penulis Buku 40 Days in Europe)
80% dari total 8.652 kasus positif Covid-19 yang terjadi di Korea Selatan bersumber hanya dari satu orang, ibu-ibu (61 tahun) yang menunjukkan gejala Covid-19 namun ketika diminta memeriksakan dirinya ke dokter malah “ngeyel” dan pergi beribadah ke gereja. Jadilah gereja Shincheonenji di kota Daegu menjadi pusat penyebaran virus [1].
Kasus Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Korea Selatan pada 20 Januari 2020 ketika seorang warga China (35 tahun) yang baru terbang dari Wuhan diisolasi di bandara Incheon, Korea Selatan. Korsel mampu menangani penyebaran wabah ini dengan baik. Dalam 4 minggu hanya 30 orang yang terinfeksi. Tapi ini semua berubah drastis ketika ditemukan pasien No. 31, si ibu yang “ngeyel” tadi. Ibu tersebut bertanggung-jawab terhadap 6 ribu orang lebih yang terinfeksi di Korea Selatan alias 80% dari kasus di negara tersebut. Satu negara dibuat repot hanya karena perilaku “ngeyel” dari seorang warganya.
Di Malaysia, tabligh akbar yang diselenggarakan oleh Jamaah Tabligh di Masjid Sri Petaling Kuala Lumpur pada 28 Februari hingga 1 Maret menjadi sumber penularan virus Corona. Hampir 2/3 dari total 673 kasus Covid-19 di Malaysia terkoneksi dengan acara tabligh akbar tersebut [2] . Celakanya, dari total 16 ribu jamaah yang hadir dalam tabligh akbar tersebut, 1.500 diantaranya berasal dari luar Malaysia, termasuk 700 orang dari Indonesia, 200 orang dari Filipina dan 95 orang dari Singapura [3] . Malaysia pun menjadi hot spot penyebaran virus Corona di Asia tenggara.
Perlu waktu lebih dari satu minggu hingga gejala infeksi virus mulai terlihat. Tanggal 9 Maret, Brunei mengumumkan kasus Covid-19 pertama di negara tersebut, seorang jamaah (53 tahun) yang ternyata mengikuti tabligh akbar di Malaysia. Satu minggu kemudian kasus Covid-19 di Brunei melonjak menjadi 50 orang, dimana 45 orang di antaranya adalah peserta tabligh akbar di Malaysia [4] . Ada 12 orang WNI yang terinfeksi Covid-19 di Malaysia, dan semuanya adalah peserta tabligh akbar [5] . Pada 17 Maret 2020, warga Malaysia (34 tahun) peserta tabligh akbar meninggal dunia [6] , satu dari hanya dua kasus kematian di Malaysia, pemerintah Malaysia pun mengumumkan lockdown. Per hari ini, sudah 1.030 penduduk Malaysia yang positif Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara [7] .
Tidak sampai tiga minggu kemudian, jamaah tabligh yang sama kembali melakukan acara, Ijtima Dunia Zona Asia 2020, di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Rabu, 18 Maret 2020, panitia mengkonfirmasi sudah 8.694 jamaah yang hadir, termasuk 411 orang Warga Negara Asing (WNA) dari 9 negara [8][9] . Setelah koordinasi yang alot antara pemerintah dan panitia, akhirnya acara dibatalkan [10] . Pemprov Sulawesi Selatan mengisolasi 411 WNA, sementara 8 ribu peserta lainnya secara bertahap pulang ke daerahnya masing-masing [11] .
Di Kabupaten Manggarai, NTT, pentasbihan Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat tetap digelar walaupun sudah dihimbau untuk ditunda [12] . Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo melalui Kepala BNPB menyampaikan permintaan ini kepada Keuskupan Ruteng dan Bupati Ruteng. Namun acara tetap digelar dengan alasan sudah terjadwal beberapa bulan lalu [13] . Kamis, 19 Maret 2020, sekitar 6.000 umat Katolik menghadiri misa besar ini termasuk 37 uskup dari seluruh Indonesia dan pejabat Kongres Wali Gereja Indonesia (KWI) [14] .
Tadinya saya berpikir, se-level uskup yang sangat paham agama, akan berbesar hati dan menunda acara pentasbihan ini. Ia akan tampil ke muka dan berkata, “Walaupun sudah berbulan-bulan kami persiapkan semuanya, namun demi kemanusiaan kami akan tunda acara ini!” Bukankan kita beragama agar dapat memanusiakan manusia. Namun saya salah. Acara ritual ternyata lebih penting daripada kemanusiaan. Ajaran cinta kasih pada sesama manusia yang selama ini didengung-dengungkan hanya sebatas retorika di atas mimbar.