Tokoh – Di tengah kondisi pandemi Covid-19 sekarang ini, salah satu jaring pengaman sosial yang paling dekat dengan masyarakat adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan lapisan pertama masyarakat dalam upaya menjaga kesehatan.
Demikian besar peran Puskesmas dalam menjaga kesehatan masyarakat, tapi tahukah sahabat Lensa Mandalika, siapa yang menggagasnya?
Dalam edisi kali ini, sebagaimana dikutip dari situs GNFI, tim redaksi Lensa Mandalika akan mengajak kawan-kawan untuk mengenal sosok penggagas Puskesmas yang terkenal dengan kejujuran, kesederhanaan dan keramahannya. Yuk, simak kisahnya.
Ia adalah Johannes Leimena, seorang dokter yang menjadi menteri kesehatan pertama Indonesia. Sosoknya yang sederhana dan jujur, membuat ia sangat dihormati serta disenangi oleh orang-orang di sekitarnya.
Jo, sapaan akrabnya, lahir di Ambon, Maluku, 6 Maret 1905, anak dari pasangan Domingus Leimena dan Elisabeth Sulilatu. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru desa. Pada usia lima tahun, ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu, Jo kecil diasuh oleh tantenya.
Riwayat pendidikannya dimulai dari Ambonsche Burger School, tempat pamannya, Jesajas Jerenis Lawalata, menjadi kepala sekolah. Saat Johanes Leimena masih duduk di kelas dua sekolah dasar, pamannya dipindah tugas ke Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Karena diasuh oleh tante dan pamannya, maka kemana pun mereka pergi, ia ikut. Meski pada waktu itu ibunya melarang Jo pergi, ia nekat menyelinap ke dalam kapal.
Di Cimahi, Jo hanya bersekolah selama sembilan bulan. Kemudian ia pindah lagi ke Batavia mengikuti mutasi pekerjaan pamannya. Sewaktu di Batavia, mula-mula Jo mengenyam pendidikan di Europeeche Lagere School (ELS) di Jalan Batu Tulis. Dari sana Jo pindah sekolah ke Paul Kruger School, di Jalan Kwitang. Setelah tamat dari Kruger School, Jo melanjutkan ke Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO). Prestasi Jo terbilang cukup cemerlang, karena itu proses pendidikannya berjalan dengan baik.
Lulus dari MULO pada tahun 1922, Jo melanjutkan studinya ke STOVIA, sekolah kedokteran bumiputera di Batavia. Setelah menyelesaikan pendidikan dokternya di STOVIA pada 1922, ia bekerja menjadi dokter selama sebelas tahun, sebelum akhirnya memperdalam ilmu penyakit dalam di Geneeskunde Hogeschool (GHS) atau sekolah tinggi kedokteran.
Terkenal Jujur dan Lemah Lembut
Jo sangat terkenal akan kelembutan dan kejujuran yang membuat banyak orang kagum padanya. Bahkan Bung Karno yang saat itu menjadi presiden, mengakui terang-terangan kekagumannya pada Jo.
“..saat bertemu dengannya [J. Leimena] aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam, dikutip dari Tirtoi.d.
Kejujuran dan kelembutannya itulah yang menjadi daya tarik utama Jo saat berinteraksi dengan orang lain. Ia juga sangat pandai bernegosiasi dan mempersuasi. “Tutur katanya yang lembut membujuk dan wataknya yang sabar menjadikannya negosiator alamiah,” tulis Faisal Basri dan Munandar dalam buku Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan dan Kesederhanaan Tokoh Bangsa (2019), dikutip dari Historia.id.
Kejujuran Jo juga dikenal luas sehingga orang-orang percaya ia tidak pernah berbohong apalagi menggertak. Hal itulah yang membuat orang sulit menolak kalau yang meminta adalah Jo. Presiden Soekarno yang memang sangat mengagumi wataknya. Pada sebuah kesempatan Bung Karno juga pernah menyebut Jo “mijn dominee” yang artinya pendetaku.
Kecakapannya bernegosiasi pernah dibuktikan saat terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Sebagai tokoh Maluku, ia mencoba bernegosiasi dengan tokoh-tokoh RMS agar tetap berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun sayang, usahanya gagal lantaran RMS tetap bersikeras ingin melepaskan diri dari NKRI. Kemudian ia membujuk Presiden Soekarno untuk langsung turun tangan mengambil hati masyarakat Maluku. Hasilnya, presiden pun bersedia untuk datang ke Maluku dan berpidato di tengah masyarakat Maluku.
“Kedatangan Presiden Soekarno disambut hangat dan mampu mengambil hati masyarakat Maluku untuk kembali bergabung dengan wilayah NKRI,” dikutip dari buku Tokoh Indonesia Teladan, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (2017).
Jas Pinjaman Dipanggil “Yang Mulia”
Selain kejujuran dan kesabarannya, Jo dikenal juga sebagai sosok yang sederhana. Malah terkadang, bisa dikatakan terlampau sederhana untuk jabatannya sebagai seorang menteri.
Banyak kisah yang menarik dan bisa diteladani dari kesederhanaannya, salah satunya adalah ketika Jo diutus menjadi delegasi dalam perundingan Renville.
Sebagai seorang delegasi, ia harus berdiplomasi dengan diplomat Inggris dan Belanda. Apesnya, selama ini Jo tidak memiliki pakaian yang pantas untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dari negara lain.
“Jo ternyata sama dengan [Muhammad] Natsir, yakni hanya punya dua kemeja yang dua-duanya sudah lusuh,” tulis Faisal Basri dan Munandar. Demi tampil formal dalam pertemuan tersebut, Jo pun meminjam jas dan dasi dari temannya sambil berujar, “Jangan khawatir. Saya tidak akan bikin malu negara kita.”
Meskipun agak kekecilan, tapi ia bisa bertahan selama beberapa jam dan membuatnya tampil meyakinkan, hingga para diplomat Inggris dan Belanda pun memanggilnya “Yang Mulia”. Jika mengingat peristiwa itu, Soekarno selalu tertawa terpingkal-pingkal.
“Orang-orang desa dengan baju pinjaman tiba-tiba terjun ke politik, duduk di meja perundingan berhadapan dengan wakil-wakil terhormat, seperti Ratu Juliana yang berpakaian mentereng. Kesulitan terbesar dari para menteriku adalah menahan ketawa bila memikirkan keganjilan ini semua,” kata Sukarno dalam Penyambung Lidah Rakyat.
Singkong Rebus di Rumah Menteri
Kisah menarik lain tentang kesederhaannya adalah ketika ada beberapa pemuda dari organisasi Kristen ingin bertemu dengannya. Sebagai seorang tokoh Kristen, Jo memang kerap dimintakan pendapatnya.
Suatu hari, beberapa pemuda dari organisasi Kristen hendak bertamu ke rumahnya. Karena berpikir akan berkunjung ke rumah seorang menteri, mereka mengira akan diajak “makan besar” sehingga dari rumah mereka tidak sarapan.
Soal ajakan makan yang mereka pikirkan tidak sepenuhnya meleset. Hanya saja, bayangan “makan besar” yang mereka pikirkan jauh dari harapan setelah melihat isi meja makan Jo yang hanya ada singkong rebus. Sehari-hari, Jo dan keluarga memang biasa sarapan singkong rebus.
Mungkin para pemuda tersebut lupa, yang mereka datangi adalah menteri yang kehidupannya sangat sederhana dan bersahaja. Kehidupan sehari-hari Jo dan keluarga memang jauh dari kesan mewah. Apalagi gambaran seorang menteri yang hidupnya dipenuhi dengan fasilitas negara, Jo sangat jauh dari itu.
Ia sangat mengerti betapa sulitnya kondisi keuangan negara pada waktu itu. Jadi ia tidak mau memanfaatkan terlalu banyak fasilitas negara. Bahkan ketika berada di Yogyakarta, ia pernah menolak untuk tinggal di Hotel Merdeka yang semua biaya akomodasinya ditanggung negara.
Ia tahu benar, para personel Departemen Keuangan bekerja keras menghimpun dana. Karena itu dia memutuskan untuk menyewa kamar sendiri dan berbagi kamar dengan rekannya. “Zaman sekarang mana ada menteri yang kos sekamar berdua demi mengirit pengeluaran?” tulis Faisal dan Munandar.
Kesederhanaan Jo juga ditunjukkan saat ia berada di rumah dan tidak sedang menjalani tugasnya sebagai menteri. Jo tidak pernah mencari hiburan ke luar rumah. Pulang dari kantor, ia berganti pakaian, biasanya hanya mengenakan sarung dan kaus, atau kemeja using, lalu bercengkerama dengan keluarga. Hari-hari liburnya pun dihabiskan di rumah bersama keluarga.
Penggagas Puskesmas yang Toleran
Jo juga dikenal sebagai sosok yang toleran dalam beragama. Ia aktif dalam organisasi berbasis agama Kristen dan bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo)—bahkan pernah menjabat sebagai ketua umumnya. Namun, Jo juga bersahabat baik dengan Muhammad Natsir, tokoh Masyumi yang getol memperjuangkan syariat Islam. Natsir pun menyebut Jo dengan sebutan Meneer de Dominee atau Tuan Pendeta.
Kendati aktif berpolitik, Jo tetaplah seorang dokter. Ia berhasil meracik salep untuk mengobati penyakit kulit ringan yang sering menjangkiti rakyat kecil. Kemujaraban “Salep Leimena” buatannya sangat terkenal di zamannya.
Saat menjadi menteri kesehatan, Jo juga banyak menghasilkan ide-ide cemerlang. Pada waktu itu bisa dimaklumi jika perhatian negara belum banyak dicurahkan pada bidang kesehatan. Namun Jo tetap berusaha memikirkan landasan untuk memperbaiki sistem, peralatan, dan tenaga kerja di bidang kesehatan. Target yang ingin Jo capai waktu itu adalah upaya preventif untuk pencegahan penyakit menular.
Menurut buku Tokoh Indonesia Teladan susunan Kementerian Dalam Negeri, ide-ide Jo banyak yang menjadi fondasi dalam bidang kesehatan hari ini. Salah satu gagasan Jo yang bisa dirasakan manfaatnya hingga sekarang adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Dalam upayanya mewujudkan gagasan tersebut, Jo memulainya dengan membentuk dua instansi dalam Kementerian Kesehatan, yaitu Jawatan Pendidikan Kesehatan Rakyat dan Usaha Higiene Masyarakat.
Kedua instansi bentukan Jo mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. Pendidikan Kesehatan Rakyat bertugas untuk melakukan usaha-usaha kesehatan di pedesaan hingga perkotaan. Jawatan ini juga memiliki fungsi untuk mendidik tenaga-tenaga medis yang nantinya akan berperan memberi penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, khususnya di pedesaan.
Sementara Usaha Higiene Masyarakat, seiring berjalannya waktu, menjadi prototipe yang lebih dikenal dengan Bandung Plan. Dalam Bandung Plan dicetuskan ide untuk mengintegrasikan institusi kesehatan supaya lebih efektif dan efisien dalam pelayanannya.
Rumah Sakit Immanuel Bandung merupakan pusat percontohan dari Bandung Plan. Ia menjadi cikal-bakal dibangunnya banyak poliklinik dengan harapan masyarakat akan terbiasa memeriksakan kesehatannya. Melalui cara itu, Jo berharap masyarakat akan semakin sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan dari penyakit menular.
Poliklinik-poliklinik itu terus dikembangkan, dan dalam perjalanannya, integrasi institusi kesehatan yang diwujudkan oleh poliklinik tersebut, meluas hingga tingkat kecamatan bahkan kelurahan yang kini kita kenal dengan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
Johannes Leimena tutup usia pada 27 Maret 1977 di Jakarta. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2016. Seluruh keteladanan yang telah dicontohkannya, patut kita tiru sebagai generasi yang mewarisi hasil perjuangannya.
Sumber: Tokoh Indonesia Teladan (Kementerian Dalam Negeri) | Tirto.id | Historia.id | Alinea.id