Sabtu, 14 Maret 2020
Sejak mendapat kabar dari atasan tempo hari, saya dan istri sedikit was was. Apalagi sorenya saya mulai batuk dan susah makan. Kami memutuskan untuk segera melakukan tes covid agar jelas penanganannya dan tidak menyebar ke orang lain jika benar ini covid.

Awalnya istri saya mengatakan, sesuai arahan Gubernur, jika mengalami gejala covid tidak perlu datang ke RS. Namun dapat menghubungi hotline Pemda DKI lalu petugas akan mendatangi rumah untuk melakukan tes swab. Maksudnya agar meminimalisir resiko menularkan ke orang lain jika kita datang ke RS.

Awalnya saya menolak karena khawatir hal tersebut akan membuat heboh satu komplek dan ujungnya membuat keluarga kami dijauhi dan dikucilkan karena masyarakat belakangan ini terutama Jakarta sudah makin parno seiring bertambahnya jumlah pasien covid di Indonesia. Tapi setelah banyak pertimbangan, saya coba juga hubungi satgas covid DKI. Telfon saya tidak pernah nyambung, dan WA yang saya kirim tidak dibalas. Akhirnya saya putuskan besok akan datang sendirian ke RS rujukan untuk minta di tes covid.

Minggu, 15 Maret 2020
Saya ke RS rujukan terdekat dari rumah yaitu RSUD Pasar Minggu. Saat itu demam saya sudah di 38. Saat screening di lobby, saya langsung dilarang masuk dan diarahkan ke IGD. Disana saya harus antri mendaftar dan antriannya sangat panjang. Selain karena sudah mulai lemas dan juga takut resiko saling menularkan jika antri dengan orang sebanyak itu, saya memutuskan menuju RS rujukan terdekat lainnya yaitu RSUP Fatmawati.

Info dari adik saya, disana terdapat poli non BPJS sehingga harapannya disana tidak akan antri panjang seperti di RSUD Pasar Minggu. Di Fatmawati saya juga langsung diarahkan ke IGD. Memang tidak ada antrian, namun saya ditolak oleh petugas rawat dengan alasan mereka tidak dapat melakukan tes covid.

Saya diminta melapor ke puskesmas terdekat untuk diperiksa, dan jika menurut pihak puskesmas saya memang memiliki gejala covid dan layak di tes, nanti akan di jadwalkan oleh Dinkes DKI untuk dilakukan tes. Pada saat yang bersamaan ada WA masuk dari satgas covid.

Senada dengan petugas di Fatmawati, saya juga diminta memeriksakan diri ke puskesmas terlebih dahulu. Apa? Harus mulai dr puskesmas? Kalo benar covid,entah berapa banyak orang yang berpotensi saya tulari. Sampai disini saya menyerah untuk ke RS Rujukan. Saat itu dada saya sudah mulai terasa sedikit sakit. Saya fikir mungkin efek mag saya yang kambuh karena sudah mulai susah makan.

Saya menghubungi kembali adik saya untuk mendapatkan advise terkait tes covid. Dia seorang dokter spesialis yang praktek di beberapa RS swasta di Jadetabek, namun bukan spesialis paru. Dia mendapat informasi bahwa lab mikrobiologi FKUI menerima pemeriksaan covid untuk umum kecuali ODP dan PDP, namun harus bayar mandiri. Okelah, saya ga masalah harus bayar mandiri. Toh ada asuransi kantor. Tapi untuk tes, syaratnya harus mendapatkan surat rekomendasi dari dokter. Akan lebih baik jika internist atau dokter paru.

Senin, 16 Maret 2020
Saya datang ke salah satu RS swasta lain di Jakarta Selatan. Saya membuat janji dengan dokter internist gastro jam 7 malam. Rencananya saya ingin konsultasi terkait magh yang sampai bikin dada sakit, sekalian meminta rekomendasi untuk melakukan tes covid.

Saat pemeriksaan sebelum ke ruang praktek dokter, tiba-tiba saya demam 38,5 dan sangat lemas. Saya sampaikan ke suster kalau saya pernah kontak dengan WNA dari luar negri. Mereka langsung panik lalu membawa saya ke IGD khusus isolasi suspect covid19.

Disana saya di cek darah dan rontgen paru. Hasil lab darah menunjukkan memang ada infeksi, dan hasil rontgen menunjukan kalau ada bronco pneumonia atau bercak di paru. Ternyata dada saya yang sesak bukan karena mag, tapi memang ada masalah di paru-paru saya. Padahal saya tidak merokok dan tidak memiliki riwayat penyakit paru sebelumnya.

Tidak berapa lama dada saya yang sakit berubah menjadi sesak nafas. Saya meminta suster untuk memberikan oksigen, namun ternyata di IGD tersebut tidak tersedia. Setelah hampir sejam, baru mereka mendapatkan oksigen portable dan langsung dipasangkan agar saya bisa bernafas normal kembali. Mereka juga memasangkan cairan infus untuk pemberian antibiotik.

Malam itu saya tidak diperbolehkan pulang sebelum ada feedback laporan dari RS ke Dinkes terkait kondisi saya yang dicurigai covid. Menurut suster di RS, prosedurnya jika saya ditetapkan sebagai ODP saya dipersilakan pulang untuk isolasi mandiri selama 14 hari.

Namun jika saya ditetapkan sebagai PDP, saya akan dirujuk ke RS Rujukan Covid untuk diperiksa lebih lanjut. Akan tetapi, sekalipun saya ditetapkan sebagai PDP, tidak bisa langsung dilakukan tes swab karena RS rujukan akan melakukan penilaian dulu apakah perlu dilakukan swab atau tidak karena terbatasnya jumlah kit pengujian. Apa? Dengan kondisi dan gejala sudah seperti ini saya masih tetap tidak pasti akan di tes? Padahal di luar negri banyak orang yang tidak bergejala namun ketika di tes ternyata positif. Sementara saya yang berinisiatif memeriksakan diri bahkan tidak masalah jika harus membayar, masih sangat sulit untuk tes.

Bagaimana dengan orang yang tidak berinisiatif dan tidak mampu membayar. Bahkan adik saya sudah mencarikan info ke sejawat-sejawatnya tetap kesulitan membantu saya untuk mendapatkan akses tes swab karena memang prosedur untuk tes yang ditetapkan pemerintah sangat sulit. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan seperti apa wabah ini sebentar lagi di Indonesia.

Paginya saya ditetapkan sebagai ODP . . . . .