Oleh : Ahmad S N
Direktur RKM Institute
Opini – Dunia pendidikan Indonesia seperti menemukan momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi. Kini jargon Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0 benar-benar menjadi pertanyaan ketika pandemi covid-19 melanda Negara-negara di Dunia tidak terkecuali Indonesia.
Kita sempat dipertontonkan blunder diawal jika pandemi corona yang terkenal dengan kecepatan menularnya ini tidak akan sampai ke Indonesia, bahkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di beberapa portal berita online pada bulan Februari ketika pandemi ini masuk ke beberapa Negara setelah China ia menjelaskan tentang kekebalan orang Indonesia terhadap covid 19 terkait dengan imunitas dan doa.
Alhasil 2 maret 2020 kita menyaksikan presiden jokowi dodo mengumumkan kasus pertama covid-19 di Indonesia yang sampai hari ini tidak hanya menjangkit sektor-sektor vital seperti kesehatan, sosial kemasyarakatan, ekonomi bahkan terutama dunia pendidikan.
Sejak di tetapkannya covid-19 sebagai bencana nasional, dunia pendidikan dituntut juga untuk mengeluarkan kebijakan tanggap darurat pandemi, sehingga semua agenda pendidikan diliburkan dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi dalam rangka menyikapi situasi darurat penyebaran covid-19, bahkan dalam surat Edaran Mendikbud No.4 Tahun 2020 juga mengatur agenda penting tentang peniadaan Ujian Nasional serta pedoman tentang PPDB Sekolah.
Pandemi Corona membuat dunia pendidikan kian memutar otak, tidak bisa bertemu tatap muka di kelas membuat agenda pendidikan harus dilakukan dengan metode dalam jaringan. Tapi tahukah kita, sebenarnya metode ini tidak lagi baru jika membaca visi yang digaungkan dunia pendidikan sejak awal di Era Revolusi Industri 4.0. Dimana Era Pendidikan 4.0 bercirikan pemanfaatan teknologi digital dalam proses pembelajaran dan mampu membuat proses belajar berlangsung kontinu tanpa batas ruang dan waktu.
Tapi sejauh ini kita bahkan tidak menyadari bahwa idealitas pembelajaran dalam jaringan yang di agendakan menanggapi wabah corona ini sangat jauh dari realita pendidikan kita sebelumnya secara tatap muka. Baik dari segi daya dorong lingkungan, kebiasaan bahkan kompetensi yang harus dimiliki oleh pengajar dan pelajar, belum lagi keikut sertaan orang tua sebagai proses controlling selama dirumah.
Menyimak paparan diskusi efektifitas pendidikan ketika masa pandemic corona, dilihat dari subjek akan dampaknya, dikutip dari Kompas ada sekitar 28,6 Juta siswa Indonesia yang terdampak corona dimana 8,3 diantaranya adalah siswa peserta Ujian Nasional dengan perbandingan ada 2,6 Juta Guru. Angka yang tidak realistis ketika berbicara tentang efektifitas tapi tentu saja sebanding dengan surat edaran KEMENDIKBUD yaitu belajar daring tidak menuntut capaian belajar.
Banyak faktor ternyata yang sama sekali belum dan bahkan tidak terfikir sebelumnya untuk di persiapkan jika sewaktu-waktu system pendidikan kita diuji berada dalam kondisi ini. Kita telah berdamai dengan kondisi darurat ini, dan mengupayakan mengembalikan makna Pendidikan Era Revolusi 4.0 tapi ketika kita berusaha memulai, ternyata hambatan lebih besar dari dorongan sehingga meskipun berjalan pendidikan kita sedang dalam keadaan terseok-seok.
Dilain kesempatan Orang Tua dituntuk untuk menggunakan fungsi controlling terhadap anak-anaknya selama belajar di rumah. Tapi tengoklah,jika menelisik lebih jeli bahkan kita bisa menyaksikan suatu paradox antara kebiasaan orang tua yang menyuruh anak-anaknya tidak banyak menonton TV, internet yang bisa diakses melaui ponsel-ponsel canggih seringkali juga dianggap berlebihan, tapi jauh dari semua itu ada keniscayaan terhadap kondisi para orang tua di Indonesia, mereka banyak yang buta huruf tidak pernah menerima pendidikan atau sebagian yang lainnya adalah seorang buruh yang setiap harinya mencari sesuap nasi, tidak ada waktu menyimak cara anaknya menerima belajar metode daring.
Realita tidak semanis idealita begitulah jargon cita-cita pendidikan Era Revolusi Industru 4.0, Quo Vadis Pendidikan Era 4.0 ? dan ketika wabah ini menyerang seperti metode ini menjadi cara terakhir menyelamatkan dunia pendidikan. Metode ini benar-benar baru dan asing bukan ? sebenarnya coronalah yang berjasa menyelamatkan dunia pendidikan dan terasa pendidikan menemukan momentum evaluasi besar-besaran.
Kompetensi untuk Siapa ?
Seperti pernyataan Prof.Dr.Unifah Rosyidi, M.Pd bahwa 90% tenaga pengajar di Indonesia terdampak dengan sistem belajar dengan metode dalam jaringan. Sehingga dari angka itu efektifitas pendidikan tidak akan pernah dirasakan sekana pandemi ini berlangsung, bahkan pemerintah juga tidak menyiapkan Guidance kepada para mpengajar.
Katakanlah di perguruan tinggi sering kita temukan sebuah kasus ketika mahasiswa yang sedang mengambil tugas akhir menghubungi dosen pembimbingnya untuk konsultasi tapi karna kesibukan tertentu dosen tersebut tidak membalas, sering meremehkan bahkan ada dosen yang sama sekali tidak bisa ditelpon atau disms hanya berlaku aturan menunggu seharian full day di ruangannya.
Tidak berlaku jika sampai sekarang kebiasaan dosen yang demikian dilakukan dimasa pendidikan dalam metode dalam jaringan ini. Karna sebuah tuntutan ketika seorang pelajar harus bertanya, menanggapi bahkan konsultasi kepada pengajar tersebut dan itu semua harus via online.
Tapi ada metodologi baru ternyata yang digunakan oleh pengajar ketika mejamin hak mahasiswa untuk belajar daring ini. Yaitu tanpa berlama-lama setiap materi yang disampaikan bisa di representasikan melalui tugas yang dikerjakan dengan deadline tertentu, itu mungkin bisa efektif tapi hampir semua pengajar ternyata memberlakukan metodologi yang sama, sehingga mahasiswa merasa tersiksa, inovasi belajar menjadi barang langka, mahasiswa terkesan belajar sendiri.
Hal ini tentu menjadi evaluasi semua kalangan, tidak hanya petunjuk /silabus belajar yang disampaikan kepada mahasiswa tetapi seorang pengajar yang baik tentu mengatasi kegandrungannya terhadap penguasaan teknologi dengan cara yang benar agar tujuan belajar dan pembelajaran bisa tercapai.
Begitu banyak akhirnya platform virtual classroom yang menjadi sarana untuk menunjang kegiatan belajar selama masa peyebaran covid-19 ini, namun tentunya harus dilandasi oleh pelajar dan pengajar yang bersinergi, sehingga meskipun ini kali pertama dunia pendidikan menemukan kasus demikikan, kedepannya siapa yang tau ? tantangan terus berubah tapi begitu halnya agar dunia pendidikan tetap memiliki solusi solutif untuk itu.(Red/Letter A)