Mataram – Perumpamaan orang tua di kalangan Suku sasak, “Kedung Basaq Baruq Mecincing” (red: Terlanjur basah, baru menggulung celana/Sarung) tampaknya pas menjadi perumpamaan terhadap tindakan Pemerintah baik dari Pusat hingga Daerah dalam menangani kasus corona di Indonesia.
Sedikit flashback sejak kasus positif corona pertama di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 lalu, pemerintah masih cenderung abai, bahkan hingga saat ini total kasus corona di Indonesia sudah mencapai angka 12.276 kasus. Rinciannya 930 meninggal dunia, 2.381 sudah dinyatakan sembuh, dan sisanya masih menjalani perawatan di fasilitas kesehatan di Seluruh Indonesia.
Regulasi yang diterapkan pemerintah masih main-main, mencle-mencle. Sebelumnya pada tanggal 24 April 2020 lalu pemerintah pusat melalui PLT Menteri Perhubungan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) memberlakukan larangan mudik dengan memperketat operasional moda transportasi, di darat, laut dan udara.
Kebijakan tersebut bahkan melarang beroperasinya penerbangan komersial termasuk operasional pelabuhan untuk menghalau padatnya lalu lintas manusia via bandara dan pelabuhan di Seluruh Indonesia.
Terkini, kebijakan tersebut berubah. Menhub Budi Karya yang sempat menjalani perawatan karena positif corona, melonggarkan kebijakan larangan mudik yang tertuang dalam Permenhub Nomor 25 tahun 2020 sehingga Mulai 7 Mei kemarin, Maskapai Plat merah Garuda Indonesia sudah kembali mengudara ditengah larangan terbang. Tanggal 10 Mei 2020 mendatang, langit Indonesia akan kembali ramai karena akan disusul dengan mengudaranya 3 maskapai dari Lion Group yakni Wings Air, Lion Air, dan Batik Air.
Meski tetap dengan dalih tidak untuk melayani pemudik, pelonggaran tersebut merupakan salah satu celah yang bisa mengakibatkan kian meluasnya penyebaran virus corona di Indonesia.
Taufan Rahmadi, Aktifis Pariwisata Nasional asal NTB yang juga Founder Temannya Wisatawan menyoroti kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah, baik itu di pusat ataupun daerah yang dinilainya telat dalam mengambil kebijakan terhadap permasalahan corona.
Menurut Taufan, mereka lebih cenderung menunggu dampak yang besar baru tergopoh-gopoh mengeluarkan kebijakan dengan tidak dibarengi oleh proses sosialisasi yang maksimal di lapangan, sehingga ujung2nya kebijakan apapun tetap tidak diindahkan oleh masyarakat.
Di NTB pun, lanjut Taufan juga mengalami pola yang sama. Penutupan akses bandara, pelabuhan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah sejak awal diusulkan namun tidak diindahkan.
Kurang dari 50 hari sejak ditetapkannya kasus positif corona pertama di NTB, hari ini (8/5/2020) update terbaru dari Gugus Tugas Covid-19 NTB, total jumlah pasien positif corona mencapai 312 orang.
“Kasus positif semakin berkembang, kemudian tergopoh-gopoh karena stok APD kurang, ketersediaan ruang isolasi terbatas karena yang positif terus bertambah, akhirnya menetapkan Asrama haji di Mataram menjadi Rumah Sakit Darurat karena kasus positif diprediksi semakin meningkat,” ungkapnya ketika dikonfirmasi via sambungan telepon oleh redaksi Lensamandalika.com (7/5/2020) kemarin.
Menurut Taufan, solusi disaat kondisi yang sudah telat seperti ini adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan yang memiliki dasar hukum yang kuat, dalam hal ini yaitu PSBB, bukan hanya di NTB, tapi diseluruh Indonesia. Sehingga di daerah-daerah yang kasus positifnya masih rendah bisa menjadi suatu bentuk antisipasi agar tidak terjadi lonjakan kasus.
“Tapi ini baru bisa maksimal, harus didukung ketegasan para aparat terkait dilapangan, termasuk di level pejabat harus memberikan contoh,” imbuhnya.
Setelah diterapkannya PSBB, sambung Taufan, Pemerintah harus memaksimalkan garis koordinasi hingga di level RT. Setiap RT dijadikan Posko Sembako sebagai jaminan agar semua warga di RT tersebut mematuhi 14 hari diam dirumah saja.
“Gugus Tugas di masing-masing RT bergerak aktif memantau warganya. Program jaminan sosial yang saat ini berjalan, bisa diratakan pemberlakuannya untuk semua masyarakat karena memang semua kita terdampak, dengan begitu untuk 14 hari kedepan dalam penerapan PSBB, kebutuhan warga terjamin,” paparnya.
Selanjutnya, jika bantuan dari pemprov, atau pemkab terlambat datang, RT harus sigap pikirkan plan B. Salah satu Plan B nya menurut Taufan adalah, RT mengajak warganya untuk saling bantu, yang mampu membantu yang kurang mampu.
“Harus solid, kalau tidak dengan gotong royong dan peran semua pihak, corona ini akan semakin lama bisa berhenti,” pungkasnya.
Melihat kondisi sekarang ini, terlebih di bulan Ramadhan, hampir semua daerah di Indonesia fenomenanya sama. Pemerintah mengeluarkan Imbauan tetapi tidak diikuti dengan ketegasan yang maksimal, akibatnya masyarakat tetap banyak berkeliaran diluar, ngabuburit dan lain sebagainya.
Kalau sekarang dikatakan banyak warga yang nakal karena tidak mengindahkan imbauan pemerintah untuk cegah corona menyebar, tampaknya tidak salah juga kalau masyarakat menyerang balik dengan mengatakan pemerintah hanya main-main kebijakan, cari aman asal bijak dengan imbauan namun tak tegas dilapangan kemudian sewaktu-waktu bisa berubah sesuai kepentingan.
Berbeda dengan Taufan, Sekretaris Dewan Pembina Partai Golkar Asal NTB, Lalu Mara Satriawangsa menilai Herd Immunity, kekebalan kawanan adalah jalan tengah yang harus diupayakan untuk pencegahan corona di Indonesia, bukan dengan PSBB.
Ia mencontohkan Amerika Serikat (AS) sudah tidak tahan terus menerus melanjutkan ‘Lockdown’. Kurang lebih 44 Negara Bagian di AS sudah memulai relaksasi kebijakan lockdown atau PSBB.
“Padahal kasus covid-19 terus meningkat, sudah 1,2 juta lebih kasus positif dan yang meninggal 75 Ribu orang,” tulis Lalu Mara melalui akun facebook pribadinya.
Untuk Lockdown, lanjut Lalu Mara, hanya China yang bisa. Itupun hanya satu Kota, Wuhan yang merupakan titik awal pandemi covid-19 berawal. Dana yang dibutuhkan sangat luar biasa, tak kurang Rp. 2 Ribu Triliun uang yang dikeluarkan Beijing untuk mengunci Wuhan dan menanggung seluruh biaya hidup masyarakatnya.
“Amerika Serikat yang ekonominya nomor satu di dunia pun tidak kuat mengikuti China. Rakyat Amerika sudah berdemo dan menuntut pemerintah federal untuk melakukan relaksasi, membuka kembali berbagai aktifitas masyarakat, sekolah maupun usaha kecil dan menengah. Lantas bagaimana dengan Indonesia, seberapa tahannya ?,” lanjutnya.
Ia kembali menambahkan bahwa DKI Jakarta dengan APBD 70 Triliun lebih pun sudah mulai tak tahan menanggung 1,1 Juta warga terdampak. Angka tersebut hanya untuk BLT, belum hal-hal lainnya.
Solusinya menurut Lalu Mara adalah Reopen, buka kembali. Namun tentu dengan syarat menerapkan protokol kesehatan, social physical distancing, dan menggunakan masker.
“Bagi yang rentan atas kesadaran sendiri bisa istirahat dirumah, yang sakit ke Rumah Sakit, dan yang sehat beraktifitas seperti biasa,” imbuhnya.
“Herd Immunity, Kekebalan kawanan sebagai jalan tengah. Sebelum vaksi dan obat virus aneh ini ditemukan,” pungkasnya.
Lantas Sekarang pilihan Pemerintah jatuh dimana, lanjut PSBB atau pilih jalur cepat dengan Kekebalan Kawanan ? (red/LM)