Nasional – Dalam waktu dekat, Sri Mulyani siap untuk menarik utang baru dari Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar USD 1,5 miliar atau sekitar Rp 22,5 triliun (kurs Rp 15.000).

Pinjaman dari ADB tersebut merupakan skema khusus yang digunakan untuk countercyclical. Sehingga bentuknya bukan berupa pinjaman proyek seperti yang selama ini dilakukan.

“Pinjaman project dengan physical distancing enggak untuk dieksekusi, makanya program non-budget support. Kami sampaikan, misalnya dengan ADB, skema khusus countercyclical facility. Kita bisa dapatkan USD 1,5 billion.

Kapan Dicairkan ? Mudah-mudahan bulan Mei dan Juni,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman.

Dia melanjutkan, hingga saat ini sudah ada komitmen pinjaman dari lembaga multilateral sebesar USD 7 miliar. Mulai dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) hingga Bank Dunia.

Luky menuturkan, komitmen tersebut bisa digunakan sebagai pembiayaan APBN 2020 yang totalnya mencapai Rp 1.439,8 triliun.

“Saat ini kita komitmen USD 7 billion, tapi masih workout detailnya, tapi perkiraan bisa kumpulkan USD 7 billion dan bisa menopang menutupi kemampuan pembiayaan kita,” jelasnya.

Jawab Kritik BPK Soal Pengelolaan Utang

Sri Mulyani merespons hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengelolaan utang pemerintah pusat sejak 2018 hingga kuartal III 2019. Hasilnya, BPK menilai pengelolaan utang tersebut kurang efektif.

Salah satunya faktor ketidakefektifan itu karena strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang belum mampu meningkatkan likuiditas pasar SBN.

BPK juga menilai pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tidak selaras dengan pertumbuhan utang. Hal ini mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai.

“BPK kami hormati. Kalau analisa mengenai debt service dan lain-lain kami hormati saja, yang penting kelola dengan baik,” ujar Sri Mulyani saat video conference, Jumat (8/5).

Sri Mulyani menjelaskan, tak masalah jika belanja tetap dilakukan meskipun harus menambah utang. Yang terpenting, kata dia, utang tersebut sudah memberikan hasil dan dampak ke perekonomian.

“Penerimaan digenjot terus, itu yang terus kami lakukan. Walau belanja tambah utang, tapi kan sudah ada hasilnya, infrastruktur menjadi baik sampai ada COVID-19 ini,” tegas dia.

“Kelola negara enggak satu rumus satu tujuan. Bahwa fiskal instrumen, dia bukan tujuan. Tapi bukan berarti kita ugal-ugalan,” kata dia.

(Red/LM)