Lensamandalika – Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengutuk keras konsep imunitas kegembalaan atau yang akrab disebut herd immunity untuk mengatasi COVID-19. Herd immunity diartikan upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan membiarkan imunitas alami tubuh. Sehingga, daya tahan atau imunitas diharapkan akan muncul dan virus akan muncul dengan sendirinya.
Namun, bila konsep ini digunakan maka bisa berdampak sangat fatal yakni kematian dalam jumlah besar. Sejumlah ilmuwan menilai kekebalan komunitas baru akan tercapai bila 65 persen hingga 75 persen dari populasi sudah terinfeksi COVID-19. Alternatif lainnya yakni bila ditemukan vaksin dan didistribusikan secara massal.
Tetapi, ide untuk penerapan herd immunity itu ditentang keras oleh WHO. Direktur WHO untuk program darurat, Mike Ryan menegaskan tidak ada satu pun manusia yang aman dan kebal terhadap COVID-19.
‘Sangat berbahaya bila ada negara-negara yang berpikir bisa secara ajaib mencapai herd immunity,’ kata Ryan seperti dikutip harian Inggris, The Telegraph pada Minggu (17/5).
Alih-alih membuat suatu komunitas kebal terhadap virus, konsep herd immunity justru dimanfaatkan untuk menghitung berapa banyak orang yang akan membutuhkan vaksin. Tujuannya, agar diketahui apakah vaksin itu memiliki dampak.
‘Ini merupakan penyakit yang serius, ini merupakan musuh bersama nomor satu. Kami telah bolak-balik mengatakan hal itu,’ tutur dia.
Ia pun mengaku bingung dengan negara-negara yang tidak tegas dalam pemberlakuan pembatasan manusia lalu tiba-tiba ingin ikut melonggarkan aturan tersebut. Apakah ini bermakna WHO menyindir Indonesia?
1. Herd immunity tidak bisa dicapai hanya dengan membiarkan warga lanjut usia meninggal
Ryan pun menegur negara yang mencoba menerapkan konsep herd immunity tetapi tidak melakukan kebijakan apapun. Baginya tidak mungkin suatu komunitas tiba-tiba akan jadi kebal hanya karena membiarkan warganya terpapar COVID-19.
‘Jadi, saya pikir negara yang coba menerapkan ide ini lalu ingin melonggarkan aturan dan belum melakukan apapun kemudian tiba-tiba mencapai kekebalan komunitas, lalu berpikir ‘terus apa masalahnya kalau kita kehilangan sejumlah warga lanjut usia?’ Ini merupakan pola pemikiran yang sangat berbahaya, penghitungan yang berbahaya,’ ungkap Ryan tegas.
Negara anggota WHO yang bertanggung jawab, tutur dia, akan selalu memperhatikan masyarakatnya. Pemerintah negara itu akan menghargai setiap warganya dan berusaha sebaik mungkin untuk melindungi mereka dan di waktu yang bersamaan melindungi perekonomian.
‘Kita perlu menentukan prioritas kita dengan benar sebelum memasuki fase selanjutnya dalam pertarungan ini,’ ujar Ryan.
2. Akan ada banyak kematian bila konsep herd immunity diterapkan
Menurut Profesor di bidang epidemiologi Fakultas Kesehatan Universitas John Hopkins, Gypsyamber D’Souza, berpendapat ide sengaja membiarkan diri terpapar COVID-19 bukan lah saran yang baik. Sebab, bila orang berbondong-bondong sengaja membiarkan diri mereka terpapar COVID-19 maka yang terjadi di masa mendatang adalah kematian dalam jumlah tinggi.
Sedangkan, asisten profesor epidemiologi di Universitas John Hopkins, David Dowdy mengambil contoh Amerika Serikat. Dikutip laman Time, para peneliti memperkirakan saat ini baru 1 persen – 2 persen warga yang kebal terhadap virus.
‘Mungkin angka (masyarakat yang kebal terhadap virus) bisa lebih tinggi di kota-kota seperti New York. Tetapi, saat ini saja, (di populasi kebal 2 persen), sudah ada 40 ribu orang yang meninggal. Maka, untuk mencapai 70 persen hingga 80 persen populasi yang kebal terhadap virus dengan perlindungan alami (tanpa vaksin), maka kita berbicara mengenai ratusan ribu orang yang meninggal. Itu bukan sebuah ide yang bagus,’ ungkap Dowdy.
Ia menjelaskan bisa saja orang membandingkan dengan cacar air yang juga membuat manusia kebal. Tetapi, Dowdy menegaskan, COVID-19 adalah penyakit yang jauh lebih mematikan dibandingkan cacar air.
‘Jika orang-orang berpikir sengaja membiarkan diri mereka terpapar virus, maka seharusnya mereka tidak berpikir mengenai kekebalan komunitas, melainkan risiko bagi diri mereka sendiri. Itu merupakan sebuah risiko yang besar dan tidak ada satu pun orang yang berpikir itu suatu langkah yang bijak,’ tutur dia lagi.
Selain itu, belum ada bukti berapa lama tingkat kekebalan tubuh akan bertahan usai berhasil pulih dari COVID-19.
3. Pemerintah Indonesia coba terapkan strategi herd immunity?
Wacana penerapan strategi herd immunity diduga juga akan diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Salah satu yang mulai terlihat indikasinya dengan memerintahkan pegawai BUMN berusia di bawah 45 tahun agar kembali bekerja usai Idul Fitri nanti. Ini merupakan bagian dari strategi normal baru yaitu hidup berdampingan dengan virus corona.
Tetapi, dalam keterangan tertulisnya Menteri BUMN, Erick Thohir tetap meminta masing-masing BUMN menyusun protokol penanganan COVID-19. Protokol penanganan itu, kata Erick, tidak terbatas pada aspek manusia (human capital & culture), tetapi juga cara kerja (process & technology), serta pelanggan, pemasok, mitra, dan stakeholders lainnya (business continuity).
Menteri dari latar belakang pengusaha itu juga memerintahkan masing-masing BUMN menyusun timeline pelaksanaan skenario The New Normal, dengan berpedoman pada kebijakan Kementerian BUMN, komando Kementerian/Lembaga terkait serta keunikan masing-masing klaster/sektor dan/atau daerah.
Sementara, epidomolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono sudah mewanti-wanti pemerintah tidak menerapkan strategi herd immunity.
‘Jangan sampai (pemerintah menyiasati COVID-19 dengan herd immunity),’ ungkap Pandu, dikutip dsri idntimes (18/5/2020). (Red/LM)