Mataram – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Mataram akhirnya buka suara terhadap beredarnya video dan berita yang berasal dari pernyataan Direktur RSUD Kota Mataram, dr. H. L. Herman Mahaputra, M.Kes, MH yang sempat mengatakan bahwa virus corona sama seperti flu syndrome. Pernyataan tersebut sempat viral baik melalui berita di media cetak, online dan melalui kanal youtube.
Ketua IDI Kota Mataram, dr. Rohadi, Sp.BS (8/6) di Sekretariat IDI Kota Mataram mengungkapkan bahwa atas beredarnya video yang viral tersebut, dr. L. Herman Mahaputra atau yang akrab disapa dr. Jack secara pribadi mengucapkan permohonan maaf kepada tenaga kesehatan yang ada di seluruh Indonesia.
“Secara pribadi beliau minta maaf kepada teman sejawat dan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia dan mengaku khilaf dalam pernyataan pada konten video tersebut,” jelas dr. Rohadi.
Baca Juga: Berusaha ‘Curi’ Data Vaksi Corona, Amerika Siapkan Peringatan Untuk China
Video tersebut, lanjut dr. Rohadi dibuat oleh dr. Jack bersama channel youtube Jalan Tengah atas dasar untuk mengurangi kecemasan masyarakat yang ada di NTB yang pada akhirnya banyak Tenaga Kesehatan tidak sependapat dan membutuhkan perbaikan.
“Perbaikan yang perlu dilakukan adalah memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa COVID-19 ini adalah penyakit yang berbahaya karena dapat menularkan secara cepat antara manusia dan manusia serta tetap mengikuti protokol COVID-19 yang dianjurkan oleh pemerintah, ” imbuhnya.
Dalam keterangan pers tersebut juga dijelaskan bahwa berdasarkan prediksi Fakultas Kedokteran Unram dan Tim Epidemiologi bahwa puncak COVID-19 di NTB pada bulan Agustus 2020 dengan jumlah kasus 5.000.
Sedangkan jika didukung dengan kebijakan yang ketat termasuk pembatasan akses masuk dari Kaut, darat, dan Udara, Puncak kasus diperkirakan maju ke bulan Juli dengan jumlah kasus 2.800.
“Hal yang perlu dilakukan adalah melakukan pembatasan dengan mematuhi protokol yang ditetapkan oleh pemerintah untuk menurunkan kasus Covid-19, ” tegasnya.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh IDI, dr. Rohadi menjelaskan bahwa kasus di NTB terdiri dsri 80 persen pasien dengan gejala ringan atau OTG, 15 persen sedang-berat, dan 5 persen berbahaya dan membutuhkan alat bantu napas.
“Pasien yang dinyatakan positif COVID-19 dan memiliki komorbit terhadap menimbulkan reaksi yang lebih berbahaya,” ujar dr Rohadi.
IDI Cabang Mataram juga mengatakan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikologi (DKJPS) melalui terapi bahagia bukan merupakan terapi utama namun merupakan terapi tambahan, sehingga fisik pasien merupakan target utama penyembuhan.
“Pandemi COVID-19 masih baru mulai, dampaknya bukan hanya di sisi kesehatan melainkan semua aspek. Bijaklah kita sebelum berkomunikasi karena banyak aspek yang kita pertimbangkan,” ujarnya.
Terakhir, dijelaskan pembahasan new normal belum bisa diterapkan di Mataram. Harus disiapkan beberapa tahapan sebelum benar-benar diterapkan. “Masukan kesehatan dari beberapa pakar terkait penanggulangan COVID-19 perlu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah,” pungkasnya. (Red/LM)