Lensamandalika.com – Pemerintah telah melonggarkan sektor transportasi umum di masa transisi menuju new normal atau adaptasi kebiasaan baru.
Kini, masyarakat dapat bepergian menggunakan transportasi umum seperti pesawat hingga kereta api secara bebas. Asalkan penumpang membawa surat rapid test atau tes swab PCR yang menunjukkan hasil negatif corona. Aturan tersebut tercantum dalam Ketentuan huruf F ayat (2) huruf b angka 2 Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 7 tahun 2020.
Merasa terbebani dengan aturan tersebut, seorang warga Surabaya bernama Muhammad Sholeh menggugat Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 ke Mahkamah Agung (MA). Dalam permohonannya, Sholeh meminta Gugus Tugas mencabut ketentuan soal rapid test tersebut.
“Kewajiban rapid test ini sangat menyusahkan penumpang pesawat terbang, kereta api dan kapal laut. Rapid test banyak dikeluhkan penumpang,” ujar Sholeh saat dihubungi, Jumat (26/6).
Sholeh menyatakan, biaya rapid test atau tes swab PCR untuk naik transportasi umum sangat membebani masyarakat yang ingin bepergian. Diketahui biaya rapid test saat ini sekitar Rp 300 ribu dan tes swab PCR mencapai jutaan rupiah.
Bahkan, kata Sholeh, biaya rapid test lebih mahal dari tiket yang dibeli penumpang. Ia mencontohkan di Surabaya ada calon penumpang yang hendak naik kapal laut ke NTT. Harga tiket kapal yang dibeli penumpang tersebut sebesar Rp 312 ribu, sedangkan biaya rapid test yang dikeluarkan Rp 350 ribu.
“Kebijakan rapid test berbiaya mahal dan ini sangat merugikan calon penumpang, sebab tidak semua penumpang orang kaya,” ucapnya.
Menurut Sholeh, kewajiban rapid test atau tes swab hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Patut diduga ada kerja sama antara termohon (Gugus Tugas) dengan pihak rumah sakit dalam pelaksaan kewajiban rapid test,” ucapnya.
Sholeh menilai kewajiban rapid test bagi calon penumpang bertentangan dengan Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/MENSKES/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.
Dalam lampiran Bab III angka 6 c dan 7 c Kepmenkes tersebut tak diatur kewajiban penumpang membawa hasil rapid test jika ingin bepergian dengan transportasi umum. Kepmenkes hanya mewajibkan penumpang menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, cuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak.
Untuk itu, Sholeh meminta MA membatalkan aturan calon penumpang harus membawa surat rapid test atau tes swab PCR dengan hasil negatif corona yang diatur dalam SE Gugus Tugas. Menurutnya, cara memastikan apakah calon penumpang yang bepergian sehat atau tidak cukup dengan dicek suhu badannya. Jika suhu badan tinggi, calon penumpang dilarang bepergian meskipun sudah memiliki tiket.
Berikut alasan lengkap Sholeh menggugat ketentuan tersebut ke MA:
- Apa yang menjadi dasar calon penumpang harus mempunyai hasil rapid test? Bukankah rapid test bukan vaksin? hanya mengetahui seseorang ini terserang virus atau tidak, bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu dan lain-lain, bukan pasti terkena COVID-19.
- Kenapa masa berlaku PCR 7 hari dan rapid test 3 hari? Apa jaminannya hari kedua penumpang tersebut tidak terpapar virus corona saat bepergian? Patut diduga masa berlaku hasil tes PCR dan rapid test yang pendek menguntungkan rumah sakit. Sebab, dalam setiap hari banyak puluhan ribu orang bepergian dan mengajukan rapid test.
- Kenapa orang yang bepergian menggunakan mobil pribadi ke luar kota tidak diwajibkan menunjukkan hasil rapid test, juga sopir-sopir truk luar kota juga tidak diwajibkan rapid test? bukankah mereka juga rentan terpapar virus corona saat bepergian? bukankah ini kebijakan diskriminatif.
- Saat masuk bandara, stasiun, dan terminal semua calon penumpang dites suhu badan. Jika hasil tes suhu badan di atas 38 derajat tidak bisa bepergian meskipun calon penumpang tersebut membawa hasil rapid test non-reaktif. Pertanyaannya yang menjadikan calon penumpang bisa bepergian a quo hasil rapid test atau tes suhu badan? Patut diduga ada kerja sama antara termohon dengan pihak rumah sakit dalam pelaksaan kewajiban rapid test.
- Kebijakan rapid test berbiaya mahal dan ini sangat merugikan calon penumpang. Sebab tidak semua penumpang orang kaya. Jika penumpang kapal laut tentu kategori bukan orang mampu, sebab jika punya uang dia akan naik pesawat bukan naik kapal laut. Misalnya di Surabaya ada calon penumpang yang hendak naik kapal laut ke NTT biaya rapid test Rp 350.000, sedangkan harga tiket kapal laut Surabaya-NTT hanya Rp 312.000. Kalau satu orang yang pergi selisihnya tidak banyak. Namun yang pergi suami, istri dan anak, tentu selisihnya jadi banyak. Bukankah berbiaya mahal sangat memberatkan bagi calon penumpang kapal laut dan kereta api. Karena tiket kereta dan kapal laut tergolong murah sebab pangsa pasarnya untuk kalangan menengah ke bawah.
- Rapid test hasilnya tidak bisa langsung dibawa oleh calon penumpang. Darah diambil pagi, jam 6 sore hasil baru keluar, waktu yang lama ini tentu merugikan calon penumpang yang hendak pergi mendadak ke luar kota. Jadi minimal satu hari calon penumpang baru bisa pergi ke luar kota. Bukankah hal ini sangat merugikan pemohon dan calon penumpang lainnya.
- Kewajiban rapid test tidak berlaku bagi penumpang bis antar kota, bukankah ini diskriminatif? sama-sama bepergian ke luar kota, kenapa untuk pesawat terbang, kereta api, dan kapal laut wajib menunjukkan hasil rapid test, sedangkan calon penumpang bis kok tidak?
- Jadi kewajiban rapid tes untuk calon penumpang transportasi umum yang diatur di Ketentuan huruf F. ayat (2) huruf b angka 2 Surat Edaran Gugus Tugas bertentangan dengan lampiran BAB III angka 6 c dan angka 7 c Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENSKES/382/2020.
(Kum)