LensaMandalika – TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid merupakan seorang ulama, pejuang, dan tokoh Sasak yang kharismatik di Pulau Lombok. Secara faktual, Hamzanwadi, beliau menyebut dirinya, memiliki peran dan sumbangsih yang sangat signifikan dalam wacana keislaman, kesasakan, dan keindonesiaan.
Fakta ini bukan isapan jempol karena bisa dilacak kebenarannya. Kiprah dan pengabdiannya terhadap agama dan negara terpampang nyata, khususnya melalui wadah yang didirikannya sendiri yaitu organisasi Nahdlatul Wathan (NW).
NW berawal dari dua madrasah induk yaitu Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) yang didirikan oleh putra Lombok asli, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Sesudah melihat pertumbuhan NWDI dan NBDI yang begitu pesat.
Terhitung awal tahun 1953 sudah mencapai 66 buah dan mengingat makin maraknya kegiatan sosial dan dakwah Islamiyah dilakukan oleh kader-kader NWDI dan NBDI, maka sang pendiri menilai diperlukan pentingnya organisasi yang berfungsi sebagai wadah koordinasi, pembina, pemelihara, dan penanggung jawab terhadap segala amal usaha yang dilakukan baik dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah. Untuk mewujudkan hal tersebut sekaligus didorong oleh motivasi guru besar beliau, maulanasyekh Hasan Muhammad al-Masysyath dan setelah melakukan istikharah selama lebih kurang tiga bulan berturut-turut maka didirikanlah organisasi Nahlatul Wathan pada hari Ahad 15 jumadil akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M (Nu’man, 1998: 47).
Kelahiran Organisasi Nahdlatul Wathan di Pulau Lombok menjadi berkah tersendiri bagi masyarakat Lombok khususnya dan masyarakat Nusa Tenggara Barat pada umumnya. Disebut berkah karena semua mengakui keberadaan NW dapat merubah wajah masyarakat Sasak menjadi lebih Islami dan agamis dari sebelumnya. NW dengan sayap dakwah, pendidikan, dan sosialnya secara massif gencar melakukan transformasi sosial, dari yang tidak islami menjadi islami.
Bahkan sampai Bapak H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, Menteri Agama masa jabatan tahun 1978-1983 mengeluarkan statemen saat berpidato pada Hultah NWDI ke 42 di Pancor. Beliau berkata bahwa andaikata bukan karena usaha NW, wajah masyarakat Lombok tidak seperti yang kita lihat sekarang ini, tetapi masih hidup dalam nilai-nilai jahiliyah.
Sebagai sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah, kehadiran NW membuka lembaran baru bagi usaha perbaikan kualitas kehidupan dan keagamaan masyarakat Lombok dan sekitarnya.
Hamzanwadi banyak mengupayakan inovasi dalam mensukseskan program-programnya (Nu’man, 1998: 144). Dalam dunia pendidikan, kader-kader NW berlomba-lomba mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di berbagai pelosok di Pulau Lombok. Hingga kini NW menaungi pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. NW tidak saja mengelola madrasah agama, namun juga sekolah umum dan lembaga kursus keterampilan.
Pendidikan dan dakwah yang dikembangkan Hamzanwadi mencoba memaksimalkan konteks lingkungan di mana pendidikan Islam itu diselenggarakan, mengutip Muhaimin, yang mencakup: (1) Pendidikan dalam keluarga; (2) pendidikan di sekolah/madrasah atau pada pendidikan keagamaan formal seperti pondok pesantren, madrasah Diniyah; (3) pendidikan masyarakat; (5) pendidikan di masjid/mushalla (tempat ibadah); dan (5) pendidikan Islam di Media Massa (Muhaimin, 2011:47).
Dalam setiap inovasi yang diinisiasinya, NW mengupayakan transformasi sosial. NW memaksimalkan lapangan dakwah, pendidikan, dan sosial yang satu dengan lainnya bersinergi saling melengkapi. Menurut Baharudin, organisasi NW memanfaatkan potensi kader-kadernya dengan menugaskan mereka mengisi khutbah Jum’at dan majelis ta’lim, serta mengintensifkan hiziban, yasinan, tahlilan, dan silaturahim dalam menopang keberhasilan lainnya di bidang pendidikan. Melalui sarana itu, juru dakwah NW mengajak warga masyarakat beramai-ramai memasukkan anak mereka di madrasah atau pondok pesantren yang dikelola NW. Di samping itu, di sana sini dibangun panti asuhan untuk menampung anak-anak yang kurang mampu dengan mensubsidi pendidikan mereka (Baharuddin, 2007:88).
Ada slogan yang tidak asing di kalangan pesantren, Al-Muhâfazhah ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhzu bi al-Jadîd al-Ashlah, memelihara dan merajut tradisi-tradisi yang lama dengan tetap mengadopsi sesuatu yang kontemporer yang dianggap relevan. Stetement pesantren tersebut direalisasikan oleh organisasi NW dengan membuat tradisi yang baru atau suatu yang lama dalam format yang berbeda. Fahrurrozi menyebut tradisi-tradisi amaliah warga NW itu sebagai inovasi. Inovasi-inovasi ini jelas mendapatkan ragam tanggapan dan persepsi dari kalangan masyarakat, tapi NW tetap mengorbitkan inovasi-inovasi yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat (Fahrurrozi, 2011:14).
Diakui bahwa dalam pendidikan tradisional, tradisi semacam zikir berjamaah, barzanji, ba’iat, pengijazahan doa atau kitab, tabarruk kepada kiyai, pengajian umum, dan lain-lain masih dipertahankan. Menurut Fahrurrozi, dalam madrasah-madrasah NW, tradisi semacam itu masih dilestrarikan dengan beberapa modifikasi dan inovasi. Sebab, Hamzanwadi meyakini tradisi tradisional di atas masih sejalan dengan Islam dan tidak perlu dilarang. (Fahrurrozi, 2011:26). Beliau dengan kedalaman ilmunya, malah mencoba meramu dan meracik tradisi itu menjadi lebih sederhana, fleksibel, singkat dan lebih syar’i. Akhirnya tradisi-tradisi itu menjadi syiar Islam secara umum dan organisasi NW secara khusus.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perjalanan dakwah NW adalah sikap toleransinya, bahkan ikut menjaga, termasuk terhadap bentuk-bentuk ritual dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Lombok, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Itulah sebabnya menurut Usman, mengapa program pendidikannya diterima dan didukung secara terbuka oleh sebagian besar masyarakat Islam Lombo
k (Usman, 2010:87).
Melalui tradisi-tradisi Islami itulah, Hamzanwadi menyelipkan tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana disebutkan Zamakhsari Dhofier dalam Tradisi Pesantren bahwa pendidikan itu semata-mata tidak sekedar memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarjkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar mengenai etika agama di atas etika-etika yang lain. Pendidikan agama bukan semata mengejar kebahagiaan duniawi berupa jabatan politis atau pekerjaan, tetapi menanamkan bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Allah SWT (Dhofier, 2011:45).
Di antara beberapa gagasan lain dari seorang Hamzanwadi terbilang baru dalam khazanah Islam Lombok waktu itu adalah: menggagas sistem pendidikan klasikal di sekolah/madrasah, mendirikan sekolah khusus wanita, mendirikan lembaga pendidikan berbagai jenjang, mengadakan pengajian umum segala usia tanpa kitab, menyusun nadzam atau lagu-lagu penyemangat belajar dan berjuang berbahasa Arab, Sasak, dan Indonesia (Noor, Muslihan & Zuhdi, 2004: 251).
Hamzanwadi mengisyaratkan kader-kadernya untuk tidak berhenti berinovasi. Berhenti berarti pasif dan jumud. Seolah-olah beliau mengajarkan murid-muridnya untuk pandai membaca zaman dan merencanakan apapun yang sesuai dengan kebutuhan zaman itu. Sebab, inovasi merupakan usaha aktif untuk mempersiapkan diri menghadapi masa yang akan datang, yang lebih memberikan harapan sesuai dengan cita-cita yang diinginkan. Jangan takut mencoba hal-hal baru apalagi merasa nyaman dengan kekakuan yang ada. Mencontoh strategi sukses orang besar. Sebaliknya meninggalkan tabiat yang menjurus ke arah kehancuran. (***)