Beberapa hari sebelum kunjungan Presiden Soeharto di Bulan Oktober 1987, terjadi kegemparan di Desa Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung. Saat itu kedua desa ini masih berada dalam wilayah administratif Kecamatan Aikmel, Lombok Timur. Saya sudah berada sebulan sebelumnya di wilayah ini, ikut mempersiapkan penyambutan presiden yang akan menyaksikan panen raya bawang putih. Di hari yang sama ia juga meresmikan Laboratorium Hepatika yang berada di Jalan Bung Hatta Mataram.
Di jalan yang belum beraspal yang menghubungkan kedua desa, ratusan warga, baik laki-laki maupun perempuan, bersorak-sorai sambil berlarian. Mereka membawa berbagai macam senjata tajam, mulai dari kelewang, pedang, keris, hingga tombak. Ada pula yang membawa bambu runcing.
Saya teringat film-film wajib ditonton kalangan pelajar yang mencitrakan sosok Soeharto sebagai pahlawan, di balik perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Diantaranya berjudul Janur Kuning (1980) dan Serangan Fajar (1982).
Ada apa para penduduk Sembalun gegap gempita seperti hendak berperang?
Di udara, beberapa helikopter bolak-balik, terbang rendah, meninjau lokasi tempat mendaratnya Soeharto dan rombongan pada hari H. Tak lama lalu menghilang. Suasana mendadak sepi. Tapi ketika helikopter-helikopter itu muncul kembali, para penduduk berlarian lagi. Mereka mengikuti ke mana saja arah helikopter melaju.
Kendaraan itulah yang membuat heboh para warga. Untuk pertama kalinya mereka menyaksikan helikopter dari jarak dekat.
Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung ketika itu termasuk wilayah terpencil. Menuju ke sana, butuh waktu hampir 10 jam dari Mataram. Saya berangkat menggunakan truk, sebelum jam 8 pagi. Sampai di Sembalun Lawang sudah jam 5 sore lewat. Di sepanjang jalan, beberapa kali saya ikut turun. Di tanjakan-tanjakan ekstrem, kami mengganjal roda truk dengan batu. Truk berupaya mendaki tanjakan beberapa meter, kami ganjal lagi. Begitu seterusnya, sampai kendaraan berhasil mencapai medan rata atau menurun.
Desa-desa itu belum teraliri listrik. Udara mulai turun sejak sore. Dingin menusuk hingga ke tulang. Esoknya, saya masih berselimut walaupun hari sudah jam 12 siang, sebab dingin belum menghilang. Selama di sana, kulit wajah saya mengelupas.
Wilayah-wilayah yang jauh dari modernisasi. Televisi baru hadir lima tahun kemudian, tapi mesti menggunakan parabola.
Sekarang, mari kita menuju Ampenan, daerah paling barat Lombok, tapi pada kondisi setengah abad sebelumnya.
Sejak awal April 1934, langit di atas pesisir pantai Ampenan berkali-kali dilintasi beberapa capung besar yang mengeluarkan suara menggelegar seperti guntur di siang bolong. Di bawah, kepala-kepala mendongak, lalu beberapa wanita memekik, menghambur masuk rumah. Ada yang berteriak, menyangka dunia akan segera kiamat. Lalu capung-capung itu menghilang ke arah selatan.
“Empat pesawat Dornier diberangkatkan ke Ampenan, Lombok,” demikian surat kabar Soerabaiasch Handelsblad memuat berita pada 12 April 1934, berjudul “De Marine, Schietoefeningen”.
Jika masyarakat Sembalun yang notabene telah mendengar cerita perjuangan di masa revolusi, sehingga spontan bereaksi dengan berduyun-duyun ke jalan, tentu berbeda dengan masyarakat Ampenan ketika itu.
Di Hindia Belanda sendiri, pesawat perdana muncul pada 18 Februari 1913. Pesawat yang dipiloti Johan Willem Emile Louis Hilgers, seorang pria indo itu, terbang di angkasa Surabaya selama 23 menit. Namun butuh waktu sembilan tahun setelah itu pesawat bisa melakukan perjalanan jarak jauh. Ini tercatat pada 24 November 1924, ketika pesawat Fokker F-VII berhasil mendarat di Batavia. Itu pun butuh waktu 55 hari sejak lepas landas di Schiphol, Amsterdam. Di tahun 1928, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM), sebuah maskapai penerbangan sipil di Hindia Belanda, didirikan. Maskapai ini hanya melayani rute di Pulau Jawa. Tarifnya luar biasa mahal.
Kedatangan pesawat di Pulau Lombok untuk pertama kalinya itu, bertepatan dengan genap 40 tahunnya peristiwa perang Lombok. Pertempuran yang menyebabkan lebih dari 400 prajurit Belanda yang turut dalam ekspedisi Lombok, tewas, termasuk Jenderal Van Ham.
“Sabtu sore, 21 Juli, saya mengunjungi kuburan tua di mana para prajurit yang gugur itu dimakamkan, kecuali Jenderal Van Ham yang makamnya di Cakranegara, di luar Mataram.
Kuburan itu dipagari dan dirawat dengan sangat baik, tetapi tidak ada pohon atau pun tanaman di situ. Apakah mereka tidak bisa menanam cemara selama empat puluh tahun terakhir untuk menaungi makam pahlawan kita?” tulis GW Litjens, yang dimuat koran De Koerier pada 30 Juli 1934.
Litjens seorang Vloot Aalmoezenier atau Fleet Chaplain, pendeta Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda selalu mengikutsertakan penggembala umat dalam perjalanan dan aktifitas setiap angkatan militer, termasuk saat berperang. “Kami berangkat dari Surabaya pada Hari Senin, 16 Juli, berlabuh di Ampenan pada hari Jumat, 20 Juli,” katanya.
Perjalanan yang menyita waktu lima hari. Sebenarnya, KPM jenis kapal uap biasa hanya butuh belasan jam dari Surabaya untuk sampai di Pelabuhan Ampenan. Namun, saat itu perairan dalam kondisi dangkal, sehingga menyulitkan jenis kapal-kapal tertentu melintasinya. Dari pangkalan Surabaya diberangkatkan empat kapal selam, dua kapal perusak, dan sebuah kapal induk Harer Majesteits, Her Majesty’s (HRMS) bernama Java. “HRMS Java membawa dua pesawat kecil untuk pengintaian. Kami baru memulai manuver enam bulanan ke dua, untuk berlatih serangan dan artileri sederhana bagi para pendatang baru,” tuturnya.
Kapal induk itu jenis kapal penjelajah milik Angkatan Laut Belanda. Diluncurkan pada 6 Agustus 1921. Kapal berbobot 8.087 ton yang memiliki panjang 155,3 meter ini tenggelam pada 27 Februari 1942, dalam pertempuran di Laut Jawa. HRMS Java diserang torpedo Long Lance yang ditembakkan dari Nachi, kapal penjelajah Jepang. Torpedo meledakkan magasin, sehingga buritan kapal ini hancur. Kapal berikut 512 prajurit di dalamnya tenggelam 15 menit setelah terkena torpedo. Ekspedisi khusus penyelaman menemukan bangkai HRMS Java pada 1 Desember 2002, di kedalaman 69 meter.
Setelah mengikuti beberapa kegiatan seremonial, Litjens naik sampan dari pantai Ampenan, menuju HRMS Java yang berada beberapa ratus meter dari garis pantai. Tanggal 23 Juli, sesuai jadual, mulai jam setengah sembilan, kedua pesawat, V 1 dan V 5, terbang di sepanjang pantai Lombok.
Litjens naik pesawat amfibi yang ke dua, mengudara sekitar pukul 11.00 wita yang dipiloti perwira pilot CJ van der Graaff. Kru pesawat ini mendapat tugas, salah satunya melakukan uji coba komunikasi radio dengan kapal selam K XII.
“Kami pertama kali memutari lingkaran tertutup, di atas Ampenan, di mana kami melihat kuburan di bawah kami, kuburan pasukan divisi pendaratan dan rekan-rekan mereka,” lanjutnya.
Pesawat yang membawa pendeta itu terbang selama sekitar 45 menit menuju Labuhan Tereng, Lembar. Dari sini penerbangan berlanjut ke perairan Gili Gede, Sekotong, tempat para prajurit berlatih.
Litjens mengungkapkan keindahan di sepanjang pantai Lombok dilihat dari ketinggian enam ratus meter. Mungkin ini penerbangannya yang pertama kalinya, sebab dia mengaku mendapat sensasi yang luar biasa. Saat kembali ke Ampenan menuju kapal induk, ia melihat seekor ikan hiu besar muncul.
Berbulan-bulan pesawat-pesawat pemburu meraung-raung di Ampenan. Capung-capung raksasa yang awalnya mengagetkan warga. Deru mesinnya yang dahsyat menghentikan segala aktifitas di kota pelabuhan itu. Tapi lambat laun orang-orang terbiasa. Capung-capung besi itu lalu tak terdengar lagi. Sebulan, dua bulan, dan seterusnya, orang-orang mulai melupakannya. Peristiwa-peristiwa datang dan pergi. Seperti juga sejarahnya sendiri, menghilang tak berjejak, ditelan gemuruh ombak pantai Ampenan. (Buyung Sutan Muhlis)