Oleh : Suhaidi, SE (Kepala Desa Darmaji)

LensaMandalika- Tadi pagi di sebuah Hotel di Lombok Tengah, saya di undang untuk mengikuti acara Focus Group Discussion (FGD). Entah siapa tuan rumah nya, tapi disurat undangan yang saya terima di tandatangani oleh Pak Bupati Lombok Tengah, H.L. Pathul Bahri, Kop suratnya juga menggunakan Kop Bupati. Jadi, kita simpulkan saja tuan rumahnya adalah Pak Bupati Lombok Tengah.

Jika dilihat dari materinya, lebih tepat acara ini bukan FGD, tapi sejenis seminar atau workshop. Karena materi yang disampaikan oleh narasumber tidak fokus pada satu persoalan, tetapi ada beberapa topik. Tidak jauh-jauh dari korupsi, dana desa, pajak dan aplikasi-aplikasi pendukung administrasi pengelolaan keuangan desa.

Fokus saya bukan ingin menulis tentang acara (yang disebut) FGD itu. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah sambutan bapak Bupati, salah satu point yang beliau sampaikan adalah komitmen beliau mewujudkan Smart City (Kota Cerdas) di Lombok Tengah. Beliau tidak banyak juga berbicara tentang konsep Smart City. Hanya sedikit saja. Kalau bahasa kerennya ” hanya nyerempet”. Walaupun hanya “serempetan”, tidak mungkin beliau menyebut kosa kata “Smart City” tersebut, kecuali memang ada komitmen beliau untuk mewujudkannya. Kurang lebih ucapan beliau “kita akan wujudkan smart city di Lombok Tengah”.

Mungkin di beberapa kalangan, istilah smart city ini masih belum terlalu familiar. Walaupun sebenarnya pemerintah sudah menggaungkan istilah ini beberapa tahun yang lalu. Bahkan akhir tahun 2020 pemerintahan Pak Joko Widodo melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mencanangkan 100 Smart City di Indonesia. Memang terbukti, beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya, Bandung telah menjadi smart city, walaupun (mungkin) belum sehebat smart city di luar negeri.

Saya sendiri familiar dengan istilah smart city karena pernah mendapat materi kuliah tentang e-government, salah satu yang dibahas adalah smart city. Ada juga smart campus dan juga smart village. Khusus smart village (desa cerdas) belum terlalu detail saya pelajari, walaupun impian besar saya memang menjadikan desa saya menjadi smart village. Entah kapan, tetapi kita impikan saja dulu.

Menurut saya, smart city adalah perkawinan antara komitmen inovasi pelayanan pemerintah dengan teknologi informasi/komunikasi lalu maskawinnya adalah internet of things (IOT). Kira-kira seperti itu yang saya fahami dari beberapa penjelasan dosen saya dan beberapa literatur yang saya baca.

Lalu, bagaimana dengan komitmen Bupati Lombok Tengah diatas ? Tentu saya pribadi mengapresiasi, impian saya sepertinya sama dengan impian pak Bupati. Sepertinya sebuah keharusan, Lombok Tengah hadir sebagai smart city. Hadirnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dengan fasilitas-fasilitas kelas dunia (salah satunya sirkuti Mandalika), memaksa Lombok Tengah untuk hadir menjadi smart city. Pertanyaan selanjutnya? Mudahkah mewujudkan smart city di Lombok Tengah? Jawaban nya tergantung dari sudut pandang masing-masing. Izinkan saya menjawab pertanyaan tersebut dari sudut pandang saya. Anda boleh berpendapat bahwa jawaban saya ini subjektif.

Jawabannya: bisa, tapi susah-susah gampang. Mengapa saya jawab demikian? Ada enam pilar dalam membangun smart city, yaitu: smart environment, smart economy, smart branding smart government, smart society dan smart living. Enam pilar ini semuanya berhubungan dengan manusia, kultur dan karakternya.
Jadi, smart city menurut saya terkait dengan merubah mindset manusia, kultur dan karakternya. Inilah tantangannya.

Saya tidak ingin terlalu jauh menulis tentang mindset, kultur, dan karakter masyarakat Lombok Tengah, tapi fakta di lapangan, kita masih menemukan mindset, kultur dan karakter masyarakat belum sesuai dengan pilar-pilar smart city yang saya sebutkan diatas. Fakta ini bisa kita bantah dengan mengatakan “nanti kan berproses, lama-lama masyarakat akan menyesuaikan”. Betul, jawabannya tidak keliru. Lalu jika demikian, dalam mewujudkan smart city ini pak Bupati ingin memulai dari mana? dan dengan cara apa? Sepertinya, ini pertanyaan yang paling serius harus dijawab oleh pak Bupati dan tim nya. Itulah mengapa tadi saya tulis, mewujudkan smart city itu susah-susah gampang. Karena kita berhadapan dengan (sekali lagi) kultur, mindset dan karakter yang dalam praktiknya, ketiga hal tersebut bisa dirubah dalam waktu yang tidak singkat.
Mohon maaf, tulisan ini bukan bermaksud untuk membuat persepsi bahwa smart city itu adalah konsep yang mustahil, ribet dan sulit. Tidak !

Akan tetapi enam pilar smart city harus benar-banar tegak, tentu dengan kerja keras semua pihak. Saya juga optimis, jika semua memiliki komitmen seperti pak Bupati, saya rasa smart city akan menjadi kenyataan, sesegera mungkin. Namun, jika komitmen ini tidak diikuti dengan perubahan mendasar pada mindset, kultur dan karakter, impian smart city ini hanya seperti makan durian dalam es campur. Ada rasa dan aroma, tapi hanya sekedar.

Lalu, kalau ada yang bertanya, apa dampaknya jika smart city ini terwujud? Salah satu jawabannya adalah (mungkin) mata pencaharian para calo yang mangkal di dinas penduduk dan catatan sipil Lombok Tengah akan hilang atau minimal berkurang. (Red.Letter A)