Lensamandalika.com – Hari Minggu cuaca terik menyengat, angin yang terasa malas berhembus membuat suasana makin gerah saja. Tak, tik, tak, tuk, demikian suara palu dari tanduk kerbau memecah lamunanku. Palu tersebut terdengar dari pemahat yang sedang mengerjakan patung batu paras.
“Semangat bro,” ujarku seraya menyapa pekerja di lokasi usaha batu paras itu. Amaq Tika, pemilik usaha batu paras itu menyapaku, dia bertanya kapan aku pulang seraya mengajakku untuk duduk melanjutkan obrolan ke berugak.
“Baru semalam aku pulang Puk,” jawabku sembari mengikutinya berjalan ke arah berugak. Secarik kertas dan sebuah bolpoin aku keluarkan dari dalam tas kecilku. Rasanya akan sia-sia jika aku tidak menulis cerita-ceritanya.
Untuk sahabat Lensa Mandalika ketahui, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), batuan paras adalah batuan atau lapisan tanah keras yang berupa pasir padat. Di Lombok, jenis batuan ini banyak ditemukan di bagian selatan pulau ini. Salah satunya ada didaerah batu bokah, Desa Kidang Kecamatan Praya timur.
Batuan ini sudah lama dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai batu nisan. Tetapi oleh Jalalludin atau lebih akrab disapa Amaq Tika, batu ini juga diolah menjadi karya seni bernilai tinggi.
Amaq Tika mulai merintis Batuan paras sejak tahun 1996 dan terus eksis hingga sekarang. Sektor industri pariwisata adalah salah satu yang menggunakan karyanya, seperti Hotel Novotel Kuta Lombok yang telah menggunakan hiasan batu paras sejak pertama kali berdiri dan dijadikan hiasan di halaman hotel. Sejak itulah order mengalir dari berbagai penjuru negeri bahkan sampai dijual ke mancanegara.
“Sayang sekali NTB belum mempunyai pengusaha dalam bidang kargo untuk ekspor barang kerajinan seperti ini,” tutur Amaq Tika.
Hal tersebut membuatkanya harus mengirim dulu karya-karyanya yang akan di ekspor ke Bali, baru kemudian diteruskan ke negara-negara tujuan seperti Australia, New Zealand, Swiss, Belanda dan negara-negara di Benua Eropa lainnya.
Karya-karyanya yang berhasil memikat pembeli dari mancanegara sungguh merupakan pencapaian yang prestisius dari Pengusaha lokal dengan berbagai keterbatasan. Amaq Tika memiliki keterbatasan fisik, salah satu kakinya patah namun tidak pernah terbersit kata menyerah dalam benaknya.
“Seru sekali obrolan ini, ” sambut istri Amaq Tika yang datang membawa dua gelas kopi hitam. Akupun tertawa lepas, berseloroh bahwa dua gelas kopi yang disiapkannya itu adalah teman ngobrol yang makin menghangatkan suasana.
Ada hal menarik dari penuturan Amaq Tika yakni belum adanya perhatian serius dari pemerintah, baik dari tataran Desa, Kabupaten, hingga Provinsi dalam membina ushanya. Padahal usahanya sudah legal karena ijin dan segala tetek bengeknya sudah ia kantongi.
Harapan paling tulus dari Amaq Tika adalah akses jalan yang menuju usahanya bisa diaspal. Memang tidak mudah karna jalan ke tempat usahanya masih berstatus jalan desa sesuai dengan penuturan staf desa yang sempat saya korek informasinya.
Satu hal lagi yang membuatku tidak habis pikir adalah mega proyek pengembangan Mandalika yang dananya fantastis belum memberdayakan pengusaha lokal dalam pengembangan karya-karyanya. Dia mengungkapkan, sangat ingin berparitispasi pada gelaran WSBK, namun sangat kesulitan akses untuk bisa menggelar lapaknya.
“Nang Ning nong,” dering handphone Amaq Tika memotong obrolan kami. Saat ia sedang menerima telpon saya sempat turun untuk mengambil gambar kerajinan dengan kamera ponsel , tertangkap banyak jenis batuan yang diolah menjadi barang seni. Kotak lampu, patung primitif, patung topeng serta berbagai jenis yang lainnya sempat saya abadikan, termasuk gambar perkakas yang masih manual dan sederhana dari pekerja Disana.
Dalam hati, aku menggumam harap jika seandainya pemerintah bisa sedikit lebih jeli, maka akan semakin banyak nyawa bisa mengantungkan ekonominya dengan usaha batuan ini. Sekarang saja usaha batu paras ini masih sanggup menampung 10 orang buruh, bagaimana jika pemerintah turun memberikan perhatian hingga usaha itu berkembang pesat? Mungkin 100 orang bisa ditampung. Jika urusan perut sudah ada jaminan halal, maka otomatis tak ada ruang bagi warga untuk tindakan-tindakan anarki yang keji.
Obrolan menarik itu terpaksa harus kami akhiri. Akupun pamit kepada Amaq Tika untuk melanjutkan aktifitas lainnya. Tak ketinggalan, sebuah cinderamata dari Amaq Tika menemani jalan pulangku, Sebuah patung primitif versi mini diberikannya. Dia meminta agar aku bisa membantu memasarkan karya-karyanya.
“Alhamdulillah…, terimakasih puk semoga usahanya tambah maju,” pungkasku diiringi deru kendaraanku yang bertolak dari kediaman Amaq Tika.
Wawancara dilakukan oleh Amaq Deang, seorang pegiat Literasi yang haus untuk terus belajar.
Minggu, 18/12/21Berlokasi di Dusun Batu Bokah Desa kidang Kecamatan Praya timur.