Oleh: Silvia Agustina (Mahasiswa S2 Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram)

Manusia merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia diberikan akal untuk menjaga ciptaan Tuhan. Akal itu diwujudkan dalam seperangkat pola perilaku yang disebut etika. Akan tetapi, kalau melihat beberapa kasus seperti korupsi, pencucian uang dan manipulasi yang terjadi belakangan ini di Indonesia, maka sepertinya nikmat Tuhan berupa akal sehat sudah dicabut dari beberapa orang di negeri ini. Rupanya ada jiwa Machiavellian di hati mereka. Nikmat akal sehat itu ditukar dengan rupiah yang entah berapa harganya.

Perlu dipahami bahwa setiap profesi di muka bumi ini ada etika yang mengatur. Tukang kayu punya etika dalam bisnisnya, dokter juga punya etika terhadap pasien dan profesi, begitupun dengan auditor, punya etika tersendiri dalam menghadapi klien atau dalam bertindak. Nilai-nilai Etika ini perlu dijaga agar tercipta suasana yang harmonis dalam menjalankan pekerjaannya. Akan tetapi, ada saja oknum-oknum yang egois, mau menang sendiri dalam setiap profesi.

Oh iya, pada beberapa kasus, sudah jelas benar salahnya. Misalnya seseorang menerima pemberian/suap dari pihak lain untuk menguntungkan pihak tersebut. Hal itu jelas melanggar etika profesi. Akan tetapi, ada beberapa kondisi dimana ada dilema dari diri seseorang professional. Kita bisa ambil contoh kasus yang menimpa auditor yang menangani Jiwasraya.

Kembali ke kasus gagal bayar polis nasabah yang mengarah pada korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Kasus tersebut dinilai melibatkan banyak pihak termasuk akuntan publik. Auditor dianggap tidak mampu untuk mengungkap kondisi sebenarnya pada Jiwasraya. Terlebih lagi, laporan keuangan teraudit yang dipublikasikan Jiwasraya ternyata telah dimanipulasi atau window dressing sehingga perusahaan terlihat sehat.

Jika ditelusuri lebih dalam dari kacamata etika profesi auditor, sebenarnya tidak terdapat keterlibatan akuntan publik dalam kasus Jiwasraya. Akuntan publik yang mengaudit perusahaan tersebut telah bertindak sesuai standar. Dalam laporan keuangan Jiwasraya 2017, misalnya, akuntan publik telah memberikan pendapat “opini dengan modifikasi”.

Perlu diingat, audit yang dilakukan akuntan publik tidak bertujuan semata-mata untuk menemukan kecurangan, ketidakpatuhan atau menilai efektivitas pengendalian internal. Sehingga, sangat mungkin kecurangan atau fraud yang tidak berkaitan dengan laporan keuangan tidak terdeteksi auditor. Dengan demikian, apabila terdapat fraud maka itu menjadi tanggung jawab direksi dengan pengawasan dewan komisaris.

Disinilah permasalahan terbesar etika yang dialami oleh seorang auditor dari kantor akuntan publik. Di satu sisi akuntan publik mengalami dilema antara menjaga kerahasiaan kliennya atau harus melakukan fraud disclusure. Ada dilema dari auditor kantor akuntan publik, mungkin menemukan fraud tapi akuntan publik bekerja dengan kontrak dimana ada rahasia klien yang harus dijaga juga. Mereka mungkin tahu ada kecurangan, tetapi karena penugasan hanya sebatas menilai kesesuaian laporan dengan standar, maka ketika tercium adanya fraud, mereka tidak bisa mengungkapkan karena adanya kewajiban menjaga kerahasiaan klien.

Mari kembali ke teori berkait etika profesi auditor. Seorang auditor dalam menjalankan pekerjaannya perlu memperhatikan prinsip-prinsip yang ada. Adapun prinsip dasar etika profesi yang telah ditetapkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) antara lain:

Pertama, Prinsip Integritas, yaitu dalam menjalin hubungan bisnis, auditor harus bersikap lugas dan jujur. Kedua, Prinsip Objektivitas, yaitu setiap auditor tidak boleh mengompromikan pertimbangan profesional, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak dari pihak lain. Ketiga, Prinsip Kehati-hatian dan kompetensi profesional, yaitu setiap auditor harus mampu mempertahankan pengetahuan dan keahlian profesionalnya pada tingkat yang dipersyaratkan, sehingga dapat dipastikan bahwa klien atau organisasi tempatnya bekerja memperoleh jasa profesional yang kompeten, berdasarkan perkembangan terkini dalam praktik, serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap auditor juga harus mampu bertindak sungguh-sungguh dan sesuai dengan standar profesi dan kode etik yang berlaku. Keempat, Prinsip Kerahasiaan, yaitu seorang auditor harus mampu menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan bisnis. Kelima, Prinsip Perilaku Profesional, yaitu setiap auditor mampu mematuhi aturan hukum yang berlaku dan harus menghindari diri dari perilaku yang dapat mendiskreditkan profesi.

Sepintas dalam kasus jiwasraya terdapat benturan prinsip dasar etika nomer empat dan lima. Auditor diminta menjaga kerahasiaan klien, padahal dia tahu ada tindakan kecurangan dalam perusahaan yang berefek merugikan pengguna laporan keuangan. Tetapi jika melihat pada ketentuan seksi 140 dari standar kode etik akuntan professional, maka dinyatakan:

“Setiap praktisi baik KAP maupun akuntan akuntan publik wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnisnya. Mereka tidak boleh mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari klien atau pemberi kerja. Hal ini dikecualikan jika terdapat kewajiban untuk mengungkapkan sesuai dengan ketentuan hukum atau peraturan lainnya yang berlaku.”

Maka sudah jelaslah bahwa auditor Jiwasraya terlihat takut kehilangan kliennya sehingga berlindung dari prinsip ke empat yaitu menjaga kerahasiaan klien. Ketidaktegasan Auditor ini berakibat banyak kerugian finansial yang ditimbulkan dari opini yang diberikan.            

Semoga kedepannya para auditor dari setiap kantor akuntan publik di Indonesia bisa belajar lebih berani dalam mengungkapkan keganjilan temuan di kliennya jika berpotensi menimbulkan kerugian finansial bagi pihak lain. Doa saya semoga regulator bisa memberi solusi kebijakan bagi para auditor dalam menghadapi dilema seperti dalam kasus ini. Amiin.