Lensamandalika.com – Bila kita amati pemaparan laporan lembaga-lembaga resmi mengenai data perkembangan kasus pandemi Covid-19 seperti Lembaga WHO, John Hopkins University, Worldometer dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional, terdapat perbedaan jumlah kasus yang cukup mencolok antara satu negara dengan negara yang lain, antara satu kota dengan kota yang lain dan antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Di satu tempat jumlah kasusnya melonjak dalam tempo yang cukup singkat seperti di Jakarta (+7.383/1 Juni) dan Surabaya (+2608/1 Juni). Di tempat yang lain jumlah kasusnya relatif sangat kecil dan perkembangan kasusnya bisa dikatakan sangat lambat, seperti di Kota Medan (+266/1 Juni) dan Kota Banda Aceh (+3/1 Juni). Banyak juga kota atau daerah yang samasekali tidak terdampak [Gugas Covid-19].
Selain itu, waktu terjadinya ledakan kasus juga berbeda. Antara Januari dan April 2020, ledakan kasus diantaranya terjadi di Cina, Korea dan Italia. Antara April dan Mei 2020, disusul oleh Amerika, Rusia, dan Brazil [Worldometer].
Mengapa bisa begitu?
Jawabannya sangat berguna untuk mengetahui akar dari permasalahan sehingga masalahnya bisa segera diatasi dengan menerapkan cara-cara yang tepat, efisien dan efektif.
Untuk memperoleh jawabannya, saya menggunakan Segitiga Epidemiologi sebagai kerangka berpikir, yang terdiri dari tiga komponen utama dalam lingkup waktu yaitu inang (host), agen penyebab penyakit, dan lingkungan [Merrill].
Tulisan ini ditujukan khusus untuk masyarakat umum. Sebentuk upaya untuk meminimalisir prasangka yang “macam-macam” alias “ngawur” (baca: teori konspirasi), yang tidak berdasarkan fakta-fakta atau oleh hasil penelitian-penelitan ilmiah, yang sangat berpotensi menghambat laju pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19.
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi laju perkembangan wabah di tiap-tiap tempat. Disarikan dari berbagai sumber ilmiah yang kredibel. Masing-masing faktor saling berkaitan, saling mempengaruhi. Faktor-faktor ini sekaligus menjelaskan secara umum mengenai mekanisme terjadinya fenomena gelombang gelombang pandemi.
- Kondisi Lingkungan.
Iklim dan atau cuaca mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wabah penyakit [WHO]. Misalnya malaria dengue (virus DENV) yang sangat dipengaruhi oleh musim hujan, dan influenza (virus Influeza A dan B) yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim dingin [NRC-US]. Bukti-bukti baru semakin bermunculan, menunjukkan bahwa kondisi cuaca, terutama suhu dan kelembaban, mempengaruhi transmisi virus SARS-CoV-2 (penyebab penyakit Covid-19).
Fenomena ini terjadi melalui dua mekanisme yaitu cuaca yang mempengaruhi stabilitas virus dan pengaruh cuaca terhadap inang [Centre for Evidence-Based Medicine-Oxford University].
Suhu adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang mahluk hidup. Berhubungan langsung dengan reaksi-reaksi biokimia atau proses metabolismenya. Singkatnya mempengaruhi seluruh aktivitas biologis mahluk hidup.
Masih melekat di benak saat dahulu mengikuti mata kuliah mikrobiologi bahwa berdasarkan suhu pertumbuhannya, mikroorganisme terdiri atas tiga jenis yaitu psikrofil, mesofil dan termofil. Virus SARS-CoV-2 termasuk jenis mesofil (20-45 derajat celcius) mengingat virus tersebut bisa berkembang biak dengan baik dalam tubuh manusia yang bersuhu 37 derajat celcius. Aktivitas biologisnya akan menurun apabila virus tersebut berada di luar rentang suhu mesofil.
Pada suhu 4 derajat celcius virus SARS-CoV-2 bisa bertahan hidup hingga 14 hari dalam media pertumbuhan mikrobiologis. 7 hari pada suhu 22, 1 hari pada suhu 37 dan hanya 5 menit pada suhu 70 [Chin, Lancet].
Kondisi di laboratorium yang terkendali tentunya sangat berbeda dengan kondisi di lingkungan hidup dan di dalam sel-sel tubuh inangnya. Berikut ini sejumlah penelitian mengenai pengaruh lingkungan terhadap perkembangan wabah.
Yu Wu, et al [ScienceDirect] meneliti pengaruh suhu dan kelembaban di 166 negara yang terdampak pandemi Covid-19.
Paulo, et al [medRxiv] menganilisis 17 hasil penelitian pengaruh dinamika lingkungan termasuk suhu dan kelembaban terhadap perkembangan pandemi.
Jon Brassey, et al [CEBM] menelaah sekitar 10 hasil penelitian.
Mohammad, et al [SSRN] menganalisis pengaruh iklim global terhadap pandemi di seluruh negara yang terdampak.
Dari keempatnya bisa ditarik sebuah simpulan, bahwa ada kecenderungan suhu dan kelembaban mempengaruhi perkembangan wabah secara negatif. Polanya mirip dengan perkembangan wabah influenza musiman. Namun, para peneliti “tidak berani” menjamin bahwa musim panas bisa menghambat laju pandemi.
Data yang ada hingga kini belum cukup dijadikan sebagai dasar prediksi ilmiah yang akurat. Para peneliti juga tidak bisa menunjukkan dan menjelaskan bukti yang mendetail mengenai pengaruh cuaca terhadap mekanisme penularan. Simpulan ini sedikit didukung oleh pendapat subjektif seorang teman yang sedang tinggal di Belgia dan beberapa teman yang tinggal di Surabaya.
Sebagai informasi tambahan, Ramadhan dkk dari Universitas Halu Oleo Kendari Sulteng [Elsevier], meneliti pengaruh cuaca antara Januari dengan Maret 2020 terhadap perkembangan pandemi Covid-19 di Jakarta. Mereka menemukan hubungan yang erat antara suhu rata-rata (26,1-28,6 derajat celcius) dengan perkembangan pandemi di Jakarta. Selain itu, tidak menemukan hubungan yang signifikan dengan hujan dan kelembaban. Sama seperti sebelumnya, mereka juga “tidak berani” membuat prediksi, karena banyak faktor yang mempengaruhi laju kembang pandemi.
Selain suhu dan kelembaban, seorang peneliti dari Italia, Mario Coccia, menemukan hubungan yang erat antara tingkat polusi udara dengan pandemi Covid-19 [Elsevier].
Kondisi lingkungan hanya berdampak langsung pada virus yang berada di luar inang. Dampaknya terhadap virus secara tidak langsung melalui perubahan perilaku inang dan atau dinamika metabolisme tubuh inang dalam merespon kondisi lingkungan.
Musim hujan atau cuaca yang dingin, cenderung membuat kemampuan sistem imun menurun. Diantaranya mempengaruhi kelancaran peredaran darah di permukaan dalam rongga hidung [MDPI]. Selain itu aktivitas dalam ruangan jadi lebih meningkat, kondisi yang lebih mendukung terjadinya penularan.
- Mobilitas populasi.
Kemajuan dan perkembangan teknologi transportasi telah membuat dunia seakan mengecil. Waktu yang dibutuhkan berpindah dari satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain menjadi jauh lebih cepat. Begitu cepatnya penyebaran Covid-19 dari Kota Wuhan ke hampir seluruh kota-kota di seluruh benua di dunia, tidak terlepas dari pergerakan manusia yang sangat massif dan sangat cepat, terutama melalui transportasi udara.
- Tingkat kepadatan populasi.
Peluang penyebaran menjadi semakin besar karena jarak orang-perorangan dalam populasi yang padat jadi semakin dekat. Memudahkan terjadinya “close contact” antara orang yang terinfeksi dengan orang yang rentan terpapar.
- Karakteristik kebudayaan-sosial populasi.
Tingkat pendidikan atau literasi dan kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat. Misalnya kebiasaan populasi seperti mengenakan masker yang biasanya mudah di temukan di Asia Tenggara, merupakan ketidakbiasaan di Amerika dan di Eropa. Padahal, semakin kemari semakin banyak bukti imiah yang menunjukkan nilai signifkan masker dalam mencegah penyebaran wabah.
Kelompok antivaks, mudahnya terpedaya oleh informasi hoaks (disinformasi) atau oleh teori-teori konspirasi yang bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah, turut memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan pandemi.
- Karakteristik genetik populasi.
Sejumlah penelitian menduga bahwa variasi karakteristik gen dan atau karakteristik sistem imun pada individu-individu dalam suatu populasi mempengaruhi tingkat kepekaannya terhadap infeksi virus dan tingkat keparahan gejala yang diakibatkannya [ScienceMag/LiveScience].
- Karakteristik genetik virus SARS-CoV-2.
Daya tular yang relatif sangat tinggi, level agresivitas yang relatif rendah, dan ditambah dengan adanya fenomena orang yang terinfeksi tanpa gejala klinis (asymptomatic carrier), merupakan kombinasi “sempurna” yang membuatnya sukses menjadi pandemi.
- Model penularan.
Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa model penularan Covid-19 terjadi melalui tetes cairan halus (droplet) yang dilepaskan oleh orang yang terinfeksi ke lingkungannya pada saat bersin, batuk dan pada saat berbicara.
Namun, relatif jarang yang mengekspos bahwa penularan juga terjadi melalui udara (airborne), meskipun sifatnya hanya terbatas di ruangan yang tertutup. Droplet yang relatif besar jatuh di sekitar satu meter dari titik pelepasan, dan yang lebih halus bisa mencapai jarak 10 meter [Elsevier].
- Kecepatan respon, upaya pencegahan penyebaran dan penanganan.
Kecepatan respon dan upaya umum seperti karantina wilayah (lockdown) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), terbukti memberikan dampak yang signifikan dalam menurunkan laju penyebaran dan meminimalisir dampak wabah [Weforum/WHO].
Demikian juga dengan upaya individual seperti memakai masker, jaga jarak dan mencuci tangan dengan sabun.
- Kualitas dan kuantitas Covid-19.
Faktor ini berhubungan langsung dengan koleksi data kasus. Sedikit banyaknya hasil pengujian akan berdampak langsung pada data perkembangan kasus di suatu tempat. Tidak ada kasus yang terdeteksi di suatu daerah bisa saja karena tidak ada atau pengujian yang dilakukan sangat sedikit.
Sebagai faktor tambahan, yaitu faktor “luck”. Sebagai contoh sederhana, seorang pengusaha yang terinfeksi dan OTG yang tinggal di kota Wuhan merencanakan perjalanan bisnis ke Jakarta, Medan dan Manado. Karena kendala teknis, ia hanya bisa mendatangi Jakarta dan Medan. Dalam peristiwa ini, Manado beruntung tidak didatangi olehnya. Begitu juga pada penumpang-penumpang yang selamat dari terpapar Covid-19 dalam kapal pesiar Diamond Princess.
Dari seluruh faktor diatas, karakteristik genetis virus SARS-CoV-2 dan upaya pencegahan umum dan individual adalah faktor yang paling mempengaruhi perkembangan wabah di suatu negara, kota atau daerah.
Sebagai penutup tulisan ini dan sebagai perbandingan (cross-check) terhadap studi literatur yang saya lakukan, saya tautkan satu penelitian yang menjabarkan sejumlah faktor yang mempengaruhi laju dan perkembangan pandemi Covid-19. Studi yang menggunakan pendekatan Total Interpretive Structural Modelling’ (TISM).
S. Lakshmi Priyadarsini & M. Suresh (2020) Factors influencing the epidemiological characteristics of pandemic COVID 19: A TISM approach, International Journal of Healthcare Management, 13:2, 89-98, DOI: 10.1080/20479700.2020.1755804. (Red/LM)