Lensamandalika.com – Pelaut yang ulung tidak lahir dari lautan yang tenang, peribahasa tersebut sangat menggambarkan Dato Sri Tahir. Orang terkaya nomor 4 di Indonesia ini adalah seorang anak dari tukang becak. Keluarganya tinggal di sepetak rumah kontrakan kecil di Surabaya. Dato harus berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari kemiskinan. Cita-citanya menjadi seorang dokter pun harus ia kubur akibat ketidakmampuan orangtuanya membiayai sekolah kedokteran.
Pria kelahiran 26 Maret 1952 ini sudah belajar susah dari lahir. Ayahnya menyewakan becak ke orang lain sedangkan ibu Tahir bantu mengecat becaknya. Gaji ayah ibunya tak sepenuhnya mampu membiayai kehidupannya.
Merasa termaginalkan, Tahir mengakui bahwa dirinya pernah beberapa kali minder. Tetapi ia tak pernah menyerah untuk berusaha mengubah nasib. Tahir ingin mengubah nasibnya melalui pendidikan. Saat itu, Tahir memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter.
Demi mencapai cita-citanya, Tahir giat belajar dan menjadi siswa berprestasi di SMA Kristen Petra Kalianyar Surabaya saat usianya 19 tahun. Tetapi setelah ia menamatkan SMA, ayahnya jatuh sakit. Boro-boro membiayai pendidikannya, membiayai kehidupan sehari-hari saja ayahnya tidak mampu.
Pada saat inilah Tahir harus memutar otak dan mengambil keputusan. Tahir kemudian mengambil keputusan berat. Demi kehidupan keluarganya, Tahir rela tidak melanjutkan pendidikan kuliahnya dan fokus untuk melanjutkan usaha sang ayah.
Tahir juga sempat membenci orang kaya. Ia menganggap orang kaya sebagai imperialisme. Menurut Tahir orang kaya hanya hanya bisa menindas dan merundung orang lain. Tahir bahkan terang-terangan menyebut bahwa dirinya memiliki habitat bersama dengan orang-orang miskin.
Ketika menginjak 20 tahun, Tahir berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya. Tak tanggung-tanggung ia melanjutkan studinya di sekolah bisnis Nanyang Technological University Singapura dengan beasiswa. Dirinya memang sudah handal melihat peluang sejak muda.
Tahir membeli barang-barang dagangannya di Singapura dan menjualnya kembali di Surabaya. Bisnis semasa kuliahnya ini membawanya menjadi seorang pengusaha. Selepas menyelesaikan kuliah, Tahir mencoba kembali mencoba menjalankan bisnis. Ia mulai mencoba berbisnis garmen.
Dengan keuletannya, bisnis garmen Tahir berkembang. Ia pun berani memasuki bisnis lain, yaitu pada bisnis keuangan. Tahir mendirikan Mayapada Group di tahun 1986. Mayapada Group kemudian tidak hanya fokus pada bidang keuangan, ia juga menjalankan bisnis dealer mobil, garmen, perbankan, media dan kesehatan. Salah satu bisnis medianya adalah lisensi Forbes di Indonesia.
Memiliki harta US$ 3,5 miliar, Tahir tidak serakah. Dirinya masih teguh terhadap pendirian bahwa bisnis adalah alat untuk membantu manusia. Tahir kerap kali melakukan kegiatan sosial dan memberikan bantuan bagi mereka yang kurang mampu. Tahir membangun rumah sakit yang memberikan akses pelayanan kesehatan untuk anak-anak dan orang tidak mampu.
Pria yang terlahir dengan nama Ang Tjoen Ming ini mengaku tidak menyesal gagal menjadi dokter. Tahir berpendapat dirinya masih lebih beruntung dibandingkan dengan kondisi jutaan anak-anak lain yang akan masuk kedalam lubang kemiskinan ekstrem ketika orangtuanya sakit.
Itulah sebabnya, Tahir banyak membantu masyarakat kurang mampu di dunia. Selain itu, Tahir juga tergabung dalam yayasan Bill & Melinda Gates Foundation. Ia menyumbangkan USD 75 juta untuk The Global Fund untuk melawan TBC, HIV, dan Malaria. Tidak hanya membantu masyarakat Indonesia, Tahir juga membantu negara-negara yang berkonflik seperti Rohingnya di Myanmar dan Surah. Dirinya bahkan mengangkat cucu pengungsi suriah. (red/LM)