Sebelum ke soal BIL ( Bandara Internasional Lombok ) di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat ( NTB ) atau BIZAM ( Bandara Internasional Zainudin Abdul Madjid ) yuuuk kita tengok ke belakang.
Kita mulai dari tahun 2006 ya gaeeees. Saat itu yang menjadi Menteri Perhubungan Republik Indonesia adalah Bapak Hatta Rajasa.
Beliau mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 10 Tahun 2006 Tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara Di Kabupaten Lombok Tengah, setelah memperhatikan Surat Gubernur NTB Nomor 011/132/DISHUB, tanggal 24 November 2005, perihal Rekomendasi Lokasi Bandar Udara Lombok Baru dan Surat Bupati Lombok Tengah Nomor 634/483/PEM, tanggal 23 November 2005, perihal Rekomendasi Lokasi Bandar Udara Lombok Baru.
Peraturan Menteri Perhubungan tersebut ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 9 Februari 2006. Terdiri dari 6 Pasal dan 2 lampiran (I.A dan I.B). Pasal-pasalnya tidak menyebutkan Identitas (Nama) Bandara. Identitas Bandara ( jika itu nama ) hanya disebutkan dalam lampiran I.A yang diberi judul Daftar Sistem Koordinat Batas Lahan Rencana Pembangunan Bandar Udara Lombok Baru di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya, dilaksanakanlah pembangunan, dan selesai pada tahun 2011. Namun ditengah rentang waktu pembangunan (tepatnya pada Bulan Januari 2009) dilaksanakanlah polling publik (entah siapa pelaksananya) untuk menyepakati nama bandara yang sedang dibangun.
Hasilnya : 40,4% responden memilih nama Bandara Internasional Lombok, 20% responden memilih nama Bandara Internasional Sasak, 16,7% responden memilih nama Bandara Internasional Rinjani, 10,9% responden memilih nama Bandara Internasional Mandalika, 8% responden memilih nama Bandara Internasional Selaparang, dan 2,9% responden memilih nama Bandara Internasional Pejanggik, serta 1,1% responden memilih nama-nama yang lain.
Apakah hasil polling tersebut yang menjadi dasar disematkannya nama Bandara Internasional Lombok saat Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani prasasti peresmian pada tanggal 20 Oktober 2011 ? (sebaiknya di check dulu ya gaeees).
Yang pasti begitu tertulis di batu prasastinya, termasuk dalam aspek administrasi (ticket, boarding pass, kode IATA) juga menuliskan begitu.
Lalu Januari 2016, General Manager AP 1 BIL I Gusti Ngurah Ardita, mempublikasikan branding nama BIL menjadi LIA (Lombok International Airport) guna mengangkat nama Lombok di Dunia Internasional sebagai tujuan wisata biar sejajar dengan Kuala Lumpur International Airport di Malaysia serta Changi Airport di Singapura.
Bandara seluas paling sedikit 551 hecktare tersebut mampu menampung 3 juta penumpang per tahun. Trickle down effectnya luar biasa. Masyarakat semakin sejahtera, yang dulunya khawatir asap dapur padam, menjadi sumringah dan bergairah.
Entah ide dari siapa dan prosesnya seperti apa, tiba-tiba pada 5 September 2018, keluar SK Menteri Perhubungan Nomor KP 1421 Tahun 2018 tentang Perubahan Nama Bandar Udara Internasional Lombok (BIL) Menjadi Bandar Udara Internasional Zainudin Abdul Madjid (BIZAM) di Kabupaten Lombok Tengah Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Keputusan Menteri Perhubungan tersebut mampu membuat berbagai elemen masyarakat terkejut. Sikap masyarakat seketika terbelah. Ada yang pro, namun lebih banyak yang kontra. Masing-masing memiliki dan bertahan pada keyakinan argumentasinya.
Okay,,,, mari kita simak judulnya “Perubahan…….dst”. Frase perubahan dapat dimaknai sebagai adanya obyek awal (Bandar Udara Internasional Lombok) dan obyek baru (Bandar Udara Internasional Zainudin Abdul Madjid).
Peraturan yang dijadikan rujukan adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Tatatan Kebandarudaraan Nasional. Peraturan ini tidak mengatur norma tentang perubahan nama bandar udara. Karenanya, merubah nama Bandar Udara dapat dikatakan tidak memiliki rujukan hukum.
Selanjutnya, didalam diktum KEDUA SK Menhub No. KP 1421 Tahun 2018, menyebutkan “dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan menteri ini, seluruh akibat hukum administratif karena penetapan nama banda udara sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA harus telah selesai dilakukan secara menyeluruh”.
Dapat kita simpulkan bahwa Keputusan Menteri Perhubungan memberi batas waktu dari 5 September 2018 sampai dengan 5 Maret 2019 adalah waktu untuk melaksanakan perubahan nama Bandar Udara Internasional Lombok menjadi Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid. Faktanya, sampai dengan saat ini (4 Januari 2021) perubahan tidak dapat dilaksanakan.
Lalu bagaimana status SK Menhub dimaksud ?
Jika kita berpegang pada asas Contrarius Actus, maka SK Menhub No. KP 1421 Tahun 2018 masih berlaku, karena Menteri Perhubungan belum mencabutnya dan/atau Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara belum pernah ada.
Meski masih aktif, SK tersebut tidak dapat dieksekusi lagi, karena gagal dilaksanakan dalam kurun waktu yang diperintahkan sebagaimana dimaksud dalam diktum KEDUA.
Contrarius Actus adalah asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Pencabutan maupun pembatalan suatu keputusan (beschikking) pun masih dapat diuji melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN).
Tanpa penegasan asas contrarius actus pun, setiap pejabat TUN ketika mengetahui Keputusan TUN yang diterbitkan bermasalah, ia dapat memperbaiki atau membatalkan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan.
Jika terhadap Keputusan TUN diajukan permohonan pencabutannya ke Pengadilan TUN, kemudian hakim mengabulkan pencabutan Keputusan TUN, maka terhadap putusan Pengadilan TUN tersebut dapat diupayakan hukum pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi TUN.
Bahkan terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan TUN atau Pengadilan Tinggi TUN dapat dimohonkan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum peninjauan kembali (untuk putusan Pengadilan TUN atau Pengadilan Tinggi TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap) kepada Mahkamah Agung.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jika masih tetap ingin merubah nama BIL menjadi BIZAM, maka mau tidak mau, Kementerian Perhubungan harus mengeluarkan SK baru, tentunya melalui prosedur yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak bisa pihak manapun memaksakan kehendak untuk mengeksekusi SK Menhub No. KP 1421 Tahun 2018. Jika tetap dipaksakan, maka polemik pro dan kontra tidak akan pernah berujung.
Kita harus ingat bersama bahwa, yang lebih penting dari perseteruan soal nama bandar udara adalah bagaimana kondusifitas wilayah tetap terjaga dengan baik. Karena kita masih memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar untuk disukseskan, yaitu merampungkan pembangunan KEK Mandalika.
Melalui kesempatan ini, saya sebagai bagian dari warga lingkar bandara yang merasakan kebisingan suara pesawat, mengajak semua pihak untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak dengan dalih apapun, dan mari duduk bersama bermusyawarah untuk menemukan permufakatan mengakhiri polemik yang tidak berkesudahan selama ini. (Red/Lm)