Lensamandalika.com – Diantara banyak kisah pilu para penumpang pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu 9 Januari lalu, tersemat pula beberapa kisah dari mereka yang batal, gagal berangkat, atau mengundur jadwal penerbangan yang seyogyanya akan dijalani bersama pesawat nahas tersebut.
Semula pasrah karena perjalanan tertunda, batal atau harus dimajukan dari jadwal, kini malah berbuah secercah berkah. Mereka serasa mendapat ‘tambahan’ jatah hidup dari yang kuasa karena tak turut menjadi korban SJ-182 yang mengakibatkan seluruh hayat Penumpang dan Kru pesawat tak lagi di kandung badan.
Adalah Supratman, warga Desa Tanak Awu, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB juga berencana terbang ke Pontianak pada Sabtu 9 Januari dengan Sriwijaya Air SJ-182.
Dari tanah kelahirannya di Lombok, Ia dan 3 putra-putrinya bermaksud mengawali penerbangan dengan Batik Air Tujuan Jakarta, baru dilanjutkan Sriwijaya Air untuk Jakarta-Pontianak.
Ia, istrinya, beserta tiga orang buah hatinya pulang ke Lombok dalam rangka menggelar acara khitanan putra bungsunya, Fatih.
“Innalillahiwainnailaihirojiuun, Jumat, 1 Januari 2021 kami sekeluarga sebenarnya akan terbang ke Pontianak, namun karena perubahan kebijakan Gubernur Kalimantan Barat yang katanya tidak menerima Rapid Test Antibody, maka jadwal penerbangan kami cancel. Rapid test antibody dan antigen kami tidak berguna apa-apa padahal sudah keluar beberapa juta, ” tulisnya di laman facebook miliknya dengan nama akun Supratman Maulana Ar-Reaqy yang dikutip oleh redaksi Lensa Mandalika, Minggu (10/1).
Tak mau rugi dua kali, sekaligus khawatir hasil Swab PCR mereka sekeluarga tidak sesuai harapan, ia sempat berencana agar tes SWAB PCR dilakukan oleh istrinya seorang, sementara ia dan ketiga anaknya baru akan Swab setelah hasil swab sang ibu keluar.
Dengan demikian, Istrinya akan berangkat lebih dahulu ke Pontianak pada Ahad (3/1) karena harus segera menyelesaikan laporan akhir tahun, baru kemudian ia dan ketiga anaknya akan menyusul pada Sabtu (9/1) menggunakan Batik Air untuk Lombok-Jakarta, dan Sriwijaya Air untuk rute selanjutnya Jakarta-Pontianak.
“Waktu itu saya sempat bilang ke anak-anak, biar mama mereka saja yang berangkat besok setelah mengetahui hasil PCR mama, Kita entar berangkat tanggal 9 saja menggunakan Batik Air dari Lombok Jakarta, dan Sriwijaya Jakarta Pontianak,” tuturnya membahasakan percakapan mereka sekeluarga.
Namun ternyata, Istri dan ketiga anaknya tak setuju dengan rencana itu seraya terus membujuknya agar tes swab bersama pada Jumat (1/1), dan balik ke Pontianak juga bersama-sama pada Minggu (3/1).
“Istri dan anak-anak membujuk agar kami semua tes swab PCR samaan dan berangkat juga samaan besok minggu. Dengan keraguan akan hasil PCR, kami semua akhirnya test PCR @900.000 per orang dan hasilnya sudah keluar hari Sabtu. Sayapun langsung memesan tiket baru setelah diantar Inaq Tuan (Ibunda) tercinta mengambil hasil test. Qadarullah kami berangkat hari Minggu (3/1), dan tidak jadi berangkat tanggal 9,” tuturnya.
Ia bersyukur telah mengikuti bujukan istri dan anaknya sehingga tak jadi memundurkan jadwal keberangkatan ke tanggal 9 Januari dan membuatbya tiba di Pontianak lebih awal.
“Alhamdulillah ya Allah. Qada’ Qadar-Mu hanya prerogatif-Mu, tidak bisa dimajukan, dan tidak bisa dimundurkan meski cuma 1 detik, ” tulisnya penuh syukur.
Ia pun turut mengucapkan rasa belasungkawanya yang mendalam terhadap para korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182.
Ia juga menuliskan unek-uneknya agar para maskapai penerbangan tidak lagi menggunakan pesawat-pesawat yang usianya sudah tua, rajin melakukan perawatan karena berhubungan dengan keselamatan dan nyawa manusia.
“Terima kasih kawan-kawanku dan saudara-saudaraku yang karena Allah langsung WA, nelpon menanyakan kabar kami. Alhamdulillah Allah senantiasa menjaga kami, memberikan kesehatan dan keberkahan umur, Semoga Antum semua juga dijaga terus oleh Allah SWT, diberi rahmat dan magfirah-Nya… Aamiiin, ” pungkasnya mengakhiri ceritera.
Selain Supratman, ada kisah tentang Rachmawati. Rachmawati yang seorang PNS di Kemenag gagal berangkat bersama SJ-182 karena hasil tes PCRnya baru akan keluar bertepatan dengan jadwal keberangkatannya. Tiketnya hangus sehingga memesan penerbangan dengan maskapai lainnya keesokan hari.
Demikian pula dengan Atma Budi Wirawan yang harusnya terbang ke Pontianak bersama tujuh anggota keluarganya dengan perantara Sriwijaya Air SJ-182.
Mereka sudah memesan dan membeli tiket, namun direlakan hangus karena harus mengeluarkan kocek jutaan rupiah untuk tes PCR.
Mereka sementara selamat dari maut setelah lebih memilih naik kapal Pelni ke Pontianak. Harga tiketnya Rp220 ribu perorang, jauh lebih murah dari biaya PCR.
Setali tiga uang dengan Agustiawan, mahasiswa asal Pontianak. Sabtu siang, (9/1), ia berencana pulang kampung. Siang itu, ia telah tiba di bandara. Menjelang terbang, ia mendadak ditelepon ibunya. Ia dilarang pulang, dan diminta fokus mengurusi ujian akhir semesternya. Perintah ibu ia turuti, ia lolos dari tragedi.
Kisah lainnya, ada Paulus Yulius Kollo, salah satu nama yang ada di dalam manifest pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak, ternyata juga terhindar dari kecelakaan maut itu.
Paulus bersama temannya bernama Indra Wibowo selamat dari insiden itu, lantaran memilih menggunakan KM Lawit ke Pontianak, via Pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta, Kamis (8/1) tanpa menginformasikan kembali ke pihak Sriwijaya Air.
Naik kapal laut menjadi pilihan Paulus setelah dirinya tak kuasa menjalani tes SWAB PCR yang biayanya Rp. 2,6 Juta.
Dirinya baru mengetahui telah terjadi kecelakaan pada pesawat Sriwijaya Air SJ 182, di Kepulauan Seribu setelah handphone miliknya mendapatkan sinyal. Walaupun syok dan menangis sendirian di dalam kapal setelah mendapat informasi kecelakaan itu, Paulus bersyukur atas kebesaran Tuhan.
(Red/LM)