Lensamandalika.com – Geliat pembangunan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika selain memberi dampak positif ekonomi, tentunya juga berpotensi menimbulkan dampak-dampak sosial bagi masyarakat tempatan.
Dampak sosial tersebut ada yang bersifat teknis pelaksanaan di lapangan seperti pemerataan dalam pelibatan masyarakat tempatan, dan yang sifatnya prinsipil seperti konflik lahan dan isu-isu ketersingkiran warga dari komunitas dan akar budayanya.
Hal tersebut disampaikan oleh Lalu Alamin, Ketua Umum Solidaritas Warga Inter Mandalika (SWIM) dalam pertemuan dengan Kapolres Lombok Tengah AKBP Hery Indra C. SH. S.I.K., M.H. di ruang kerja Kapolres Lombok Tengah, Kamis (2/9/2021) kemarin.
Pertemuan tersebut, kata Lalu Alamin dalam rangka silaturahim SWIM dengan Kapolres Lombok Tengah yang baru dan yang turut didampingi oleh Wakapolres Lombok Tengah.
Dirinya memaparkan situasi dan kondisi masyarakat seputar KEK Mandalika serta permasalahan-permasalahan yang berpotensi berkembang menjadi gangguan terhadap kondusifitas kawasan.
Terhadap setiap permasalahan yang timbul dan berkembang sebagai dampak pengembangan KEK, dirinya menegaskan komitmen SWIM dan warga untuk selalu mengedepankan dialog dalam setiap penyampaian permasalahan.
Lebih jauh lagi Ketua SWIM menjabarkan beberapa permasalahan prinsipil seputar konflik lahan warga tempatan dengan pengembang dalam hal ini ITDC yang tidak hanya merugikan warga secara ekonomi (finansial) namun juga memiliki sisi sosial budaya dan adat istiadat yang sensitif.
“Konflik lahan ini adalah warisan dari sistem akuisisi lahan yang tidak jelas sejak awal oleh PT. Pengembangan Pariwisata Lombok (LTDC). Dampak dari warisan permasalahan dari masa lalu ini masih terlihat hingga hari ini,” jelas Lalu Alamin.
Konflik lahan tersebut, Katanya merupakan akar permasalahan dari adanya ratusan warga Dusun Ebunut dan Ujung Lauk yang terisolir di dalam lintasan sirkuit lantaran masih adanya perselisihan mengenai status tanah yang masih mereka tempati membuat warga tetap bertahan.
“Perkembangan pengerjaan proyek sirkuit mengurangi dan pada akhirnya memblokade akses warga sehingga menyebabkan warga terisolir. Tentu hal ini mengganggu aktivitas ekonomi, sosial budaya, keagamaan dan pendidikan warga. Fungsi-fungsi pelayanan publik pemerintah seperti layanan kesehatan juga bisa terganggu”, papar Lalu Alamin.
Sisi sosial budaya dan adat-istiadat dari konflik lahan tersebut juga terlihat dari hilangnya akses warga menuju tanah adat di pantai Seger. Selain itu terjdi juga pembatasan aktivitas-aktivitas budaya di ruang publik seperti acara ‘madak mare’ dan ritual ‘kapung’ (berenang) di Pantai Senek.
“Pantai Senek merupakan lokus dari aktivitas budaya masyarakat secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Maka pembatasan pemanfaatan ruang publik ini bagi aktivitas adat budaya masyarakat adalah hal yang sangat sensitif sehingga potensi terjadinya konflik terbuka sangat tinggi,” ungkapnya.
Sebut saja pantai adat Seger yang merupakan lokasi perhelatan festival rakyat Bau Nyale. Bau Nyale bukan kepentingan warga Kuta atau Pujut saja, tapi ini juga kepentingan seluruh warga Lombok Tengah, bahkan seluruh Pulau Lombok.
Bahkan katanya, jika dilihat dari kepentingan promosi pariwisata, Bau Nyale bahkan sudah menjadi kepentingan nasional karena sudah masuk dalam calendar of event nasional.
“Karena festival Bau Nyale ini mewakili kepentingan yang luas, maka penyelesaian akses menuju Pantai Seger harus menjadi fokus perhatian utama. Terlebih lagi pelaksanaan Bau Nyale tinggal kurang dari enam bulan lagi. Jika sampai waktu pelaksanaannya pihak pengembang belum menyelesaikan permasalahan akses ke Pantai Seger, maka potensi kegaduhan yang akan mengganggu kondusivitas kawasan selatan akan sangat besar. Karena itu, kami dari SWIM mewakili masyarakat di selatan sangat berharap masalah ini segera dituntaskan,” lanjut Lalu Alamin.
Terkait apa yang disampaikan oleh SWIM dan apa yang telah dilakukan oleh SWIM bersama warga di Kuta, Kapolres Lombok Tengah menyatakan sangat apresiatif. AKBP Hery Indra menegaskan bahwa peran kepolisian adalah menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban di samping menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Dalam menangani konflik-konflik seperti dijelaskan Ketua SWIM, AKBP Hery Indra mengakui pihak kepolisian sering berada pada situasi yang dilematis. Selain bertugas melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat, kepolisian juga dituntut agar keamanan, ketertiban, dan kondusivitas tetap terjaga melalui langkah-langkah penegakan yang humanis.
“Dalam hal ini, fungsi kepolisian ya sama dengan SWIM, harus mampu menjadi mediator yang berimbang dan humanis. Makanya dari apa yang saya lihat selama ini, apa yang sudah dilakukan oleh SWIM dalam mengelola potensi konflik dari masyarakat sudah sangat tepat. SWIM sudah mengarahkan dan menyalurkan aspirasi, keinginan dan ketidakpuasan masyarakat melalui jalur yang benar, yaitu mengedepankan dialog,” katanya.
Tanpa pendampingan dari SWIM, lanjutnya, bisa saja tuntutan dan ketidakpuasan warga diekspresikan dalam bentuk tindakan-tindakan anarkis seperti pemblokiran dan penghentian paksa pengerjaan proyek di sana.
“Tapi sejauh ini advokasi dari SWIM bisa mencegah itu sehingga keamanan, ketertiban, dan kondusivitas kawasan masih relatif terjaga dan kami sangat mengapresiasi itu,” ungkapnya.
Sebagai kesimpulan dari pertemuan tersebut, Kapolres Lombok Tengah dan Ketua SWIM sepakat untuk terus berkoordinasi dan meningkatkan komunikasi guna mengantisipasi konflik-konflik yang berpotensi mengganggu keamanan, ketertiban, dan kondisivitas kawasan.
“Dan untuk setiap permasalahan di tengah masyarakat, kepolisian selalu ada untuk menjadi mediator yang humanis”, pungkas AKBP Hery Indra.