Pada dasarnya, keberadaan alat musik oncer ini digunakan untuk menghibur masyarakat ketika melaksanakan acara adat, syukuran, menyambut tamu dan lainnya. Begitupun pada zaman kerajaan dulu, gong oncer diketahui kerap dimainkan pada saat acara-acara penting dan untuk menyambut tamu-tamu kerajaan. Bahkan dulunya, Gong Oncer ini memiliki penari cantik yang khusus ditampilkan ketika acara-acara tertentu.
Seiring dengan perkembangan zaman, para penari akhirnya dengan sendirinya dihilangkan. Tidak cukup sampai disitu, dengan lantunan iramanya yang khas dan unik mampu menghadirkan kenangan dan gambaran akan kehidupan suku sasak pada zaman dahulu.
Pada mulanya, Gong oncer mengiringi pertunjukan drama tentang kisah berbagai kerajaan yang ada dipulau Lombok,
”Sekarang memang sudah banyak berubah dari awal munculnya gong oncer kami ini,” tutur amak lanum, salah satu tokoh yang sekarang meneruskan pementasan gong oncer mongge ini.
Berdasarkan ceritera dari Amak Lanum, konon peralatan musik gong oncer yang masih ia jaga sampai sekarang ini dibeli oleh almarhum ayahnya amak ayic. Karena gong oncer ini merupakan peninggalan orangtuanya dan masyarkat sekitar, menjadi alasan pria yang kini berusia 75 tahun itu masih menjaga peralatan musik legendaris tersebut.
Bahkan, meski beberapa pemainnya sekarang ini telah sepuh dengan umur rata-rata diatas 50 tahun, gong oncer ini masih sering dimainkan ketika ada acara tertentu di dusunnya, bahkan sempat ditampilkan ketika acara Core Event Bau Nyale oleh Kelompok Pemuda BLOK PUJUT di tahun 2018. Bahkan tak jarang pula mereka disewa keluar desa untuk mengisi acara seperti halnya gendang belek pada umumnya.
“Personil kami sekarang ini kurang lebih dua puluh orang, sebagian besar diatas 50 tahun,” terang bapak yang kini telah mempunyai banyak cucu ini.
Seorang tokoh pemuda setempat, Sufrianto mengatakan telah mulai belajar memainkan alat musik oncer ini setiap malam Rabu dan Minggu.
“Atas dasar kecintaan kami akan budaya leluhurlah yang membuat kami tergerak untuk belajar dan melestarikan alat musik ini,” terang pemuda yang juga Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sukadana ini.
“Untuk dapat terus lestari, saya berharap agar pemerintah memberikan perhatian khusus pada alat musik ini, mengingat keberadaannya sudah tidak banyak. Kita bisa meniru Sekolah-sekolah di Pulau Bali yang menambahkan kurikulum permainan alat musik tradisional sebagai cara pengenalan kepada anak-anak sejak dini, dengan begitu keberadaan alat musik ini akan terus lestari, dan tetap menjadi khazanah budaya di kehidupan sekarang ini,” terangnya. (_dwr)