Genap sudah 205 tahun meletusnya Gunung Tambora yang terletak di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Sekaligus menjadikan hari ini (11/4/2020) sebagai ulang tahun (resmi) ke 205 Kabupaten Dompu.
Hal ini lantas membuat banyak orang, khususnya di Dompu menyangka bahwa Tambora benar-benar meletus tanggal 11 April 1815. Padahal sebenarnya letusan mahadahsyat Gunung Tambora tidak pernah sekalipun terjadi pada tanggal 11 April 1815.
G. Tambora mengalami beberapa kali letusan di bulan April 1815. Letusan pamungkasnya yang menelan puluhan ribu korban jiwa justeru terjadi tepat pada tanggal 10 April 1815.
Letusan maha dahsyat yang menghancurkan sebagian besar puncaknya, meninggalkan kawah yang kelak menjadi kaldera terbesar di muka bumi.
Berhubung tahun ini tidak ada upacara, festival, atau perayaan lain untuk memperingati “hari lahir Dompu baru” akibat pandemi Covid-19 alias Virus Corona, maka MaDa berniat mengajak pembaca sekalian untuk kembali bernostalgia dengan kejadian dahsyat dua abad yang lalu itu.
Pulau Sumbawa sebelum letusan Tambora tidaklah seperti sekarang ini. Curah hujannya lebih tinggi dan ditutupi oleh hutan lebat yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah.
Schelle dan Tobias mencatat bahwa alam telah melimpahkan berkahnya untuk Pulau Sumbawa meskipun pulau ini berbukit-bukit. Padi, kedelai dan jagung tumbuh subur, hutan menyediakan madu dan kayu pilihan seperti kayu sapan yang kualitasnya nomor dua di seluruh kepulauan nusantara. Kopi, lada, dan kapas tumbuh, meskipun akhirnya bahan pangan menjadi sumber utama penghasilan penduduknya.
Ada banyak sarang walet, termasuk yang berkualitas bagus, dan pulau ini telah sejak dahulu terbukti memiliki kandungan emas, meskipun belum pernah dieksploitasi.
Di teluk di Pantai utara Kesultanan Dompu, mengandung mutiara yang ukurannya relatif sangat besar. Meskipun perburuan mutiara tidak pernah diawasi sama sekali. Ada tambang garam yang memasok seluruh pesisir Bonerate, Manggarai, Selayar dan Bone dengan garam yang dihasilkannya. Terakhir, siapa yang tak pernah mendengar kuda terbaik yang berasal dari pulau ini yang tidak tertandingi kualitasnya oleh yang lain?
Bernice De Jong Boers mengutip buku G. Kuperus berjudul Het cultuurlandschap van West-Soembawa menyatakan dahulu penduduk P. Sumbawa hanya mengenal pertanian dengan sistem berladang. Orang Jawalah yang pertama kali memperkenalkan penanaman padi di sawah sekitar tahun 1400-an, mereka juga memperkenalkan kuda pada penduduk P. Sumbawa.
Sekitar tahun 1800-an, pemukiman-pemukiman telah dibangun di seluruh bagian pulau. Pemukiman-pemukiman ini umumnya berada di dekat aliran sungai atau hutan jati. Komoditas ekspor penduduk P. Sumbawa sebelum tahun 1815 adalah padi, madu dan sarang lebah, sarang walet, kuda, garam, kapas dan kayu sapan/sepang (Bahasa Dompu: Haju Kalanggo).
Ada enam kerajaan atau kesultanan yang berdiri pada waktu itu: Kesultanan Dompu, Mbojo, Sumbawa, Sanggar, Pekat, dan Tambora. Di timur ada Kesultanan Mbojo, di tengah berdiri Kesultanan Dompu, di barat berdiri Kesultanan Sumbawa. Adapun di utara berdiri berdampingan tiga kerajaan kecil.
Ada Kesultanan Sanggar di teluk bagian utara pulau, Kesultanan Tambora berada di lereng sebelah barat G. Tambora, sedangkan Kesultanan Pekat tepat berada di sebelah selatannya.
Tambora Sebelum 1815
Pada zaman dahulu, G. Tambora dikenal dengan nama Gunung Aram. Sebagaimana tercantum dalam sumber aslinya dari sebuah peta kuno yang termuat dalam buku Suma Oriental (1944, hal. 200) karya Tome Pires dan peta hasil reproduksi di dalam buku Begin ende voortgangh van de Oost-Indische Compagnie, 1646, Deel HI. Catatan perjalanan oleh Pieter Willemsz mengandung paragraf sebagai berikut: “reaching the tip of Sombava ….. we approached Mount Aram in the evening” (mencapai ujung P. Sumbawa …. kami tiba di Gunung Aram pada waktu sore hari).
Tambora adalah gunung api berbentuk kerucut. Tinggi gunung Tambora sebelum meletus dahsyat pada tahun 1815 adalah diperkirakan 4200 mdpl. Setelah letusan, tinggi gunung tambora hanya tersisa 2851 mdpl. Verbeek memperkirakan bahwa erupsi ini melontarkan 150 kubik material vulkanik.
Gunung itu belum pernah meletus sebelum tahun 1815. Tanda-tanda awal gunung itu akan segera meletus baru disadari tiga tahun sebelum letusan. Sejak tahun 1812, telah ada awan tebal yang selalu menyelimuti di puncak Tambora. Awan itu makin lama makin besar dan gelap dengan sesekali mengeluarkan suara bergemuruh.
Seorang saksi mata terhadap tanda-tanda awal ini adalah John Crawfurd, yang menulis dalam bukunya Descriptive Dictionary of the Indian Islands: pada tahun meletusnya Tambora, saya mengikuti sebuah expedisi menuju Makasar di Sulawesi dan dalam perjalanan kami melewati pesisir P. Sumbawa, bahkan gunung berapi Tambora sedang dalam aktifitas yang hebat. Dalam jarak sekian, awan abu yang terlontar telah menghitamkan satu sisi horizon ……… dan abunya bahkan jatuh ke atas dek kapal.
Tanda-tanda awal ini telah membuat penduduk P. Sumbawa sangat khawatir. Mereka telah meminta Tuan Resident Sumbawa untuk melakukan penyelidikan. Dan Residen Pielaat telah mengirim seorang petugas bernama Pak Israil menuju Tambora. Pak Israil tiba di Tambora tepat pada hari meletusnya gunung itu, ia tidak selamat dari bencana.
Erupsi Tambora 10 April 1815
Erupsi Tambora bermula pada tanggal 5 April 1815. Ditandai dengan dentuman-dentuman keras yang dapat didengar dari berbagai pulau di seluruh Nusantara. Dan pada tanggal 10 April, letusan-letusan itu makin keras.
Hampir di seluruh tempat, letusan-letusan tersebut disangka sebagai letusan meriam. Baru beberapa hari kemudian, terjawablah sudah bahwa itu adalah letusan sebuah gunung berapi. Yakni ditandai dengan turunnya hujan abu vulkanik. Meskipun mereka belum tahu gunung apakah yang meletus.
Letnan Owen Philips yang ditugaskan oleh Letnan Gubernur Raffless untuk melakukan investigasi terhadap kejadian ini mencatat laporan saksi mata dari penduduk Kerajaan Sanggar yang selamat:
Sekitar jam 7 malam, tanggal 10 April 1815, tiga buah gumpalan lava pijar meledak keluar di dekat puncak Tambora. Seluruh pijaran lava itu rupanya mencapai dalam bibir kawah dan setelah itu melesat sangat tinggi ke berbagai arah.
Puncak dari masing-masing lava pijar itu lalu menyatu di udara dengan cara yang tidak beraturan. Dalam waktu singkat, seluruh lereng gunung yang terletak berdekatan dengan Sanggar berbentuk seperti terliputi cairan berapi yang menyebar ke berbagai arah.
Pijaran api dan gumpalan lava terus mengamuk dengan kemarahan yang tidak reda hingga kegelapan akibat banyaknya material yang jatuh, tak bisa melihat apa-apa.
Jam menunjukan pukul 8 malam, di saat itu batu-batu berjatuhan sangat banyak di Sanggar. Sebagian dari batu-batu itu sebesar dua kepalan tangan namun umumnya tidak lebih besar dari buah kenari.
Antara jam 9 dan 10 malam, hujan abu mulai turun dan segera setelah terjadi angin tornado yang hebat, yang menerbangkan hampir seluruh rumah di perkampungan di Sanggar, menerbangkan atap dan bagian-bagian kecil rumah.
Di bagian Sanggar yang berbatasan langsung dengan Tambora, pengaruhnya bahkan sangat hebat, mencabut akar pohon paling besar dan membawanya ke udara bersama-sama dengan manusia, rumah-rumah, ternak, dan apa saja yang dilaluinya.
Permukaan air laut naik setinggi 12 kaki, lebih tinggi dari biasanya, dan merusak areal persawahan kecil di Sanggar, menyapu semua rumah dan apa saja yang bisa dicapai olehnya. Demikian kesaksian seorang warga Sanggar yang selamat.
Letusan itu telah melenyapkan dua kerajaan yakni kesultanan Tambora dan Pekat. Juga mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Kesultanan Sanggar dan musnahnya sebagian besar penduduknya. Pusat Kesultanan Sanggar akhirnya berpindah ke lokasi Desa Kore saat ini.
Akibat letusan G. Tambora, selama lima tahun berikutnya tanah Pulau Sumbawa tidak dapat ditanami. Bencana kelaparan terjadi. Setengah dari populasi penduduk Pulau Sumbawa musnah. Para ahli memperkirakan total korban letusan G. Tambora adalah 91.000 jiwa.
Hal ini dapat menjelaskan kenapa di NTB, jumlah (populasi) penduduk pulau Lombok lebih banyak, sedangkan jumlah (populasi) penduduk pulau Sumbawa lebih sedikit.
Menurut arkeolog sekaligus vulkanolog Igan suthawijaya, debu letusan G. Tambora membumbung setinggi 43 km dan terbawa angin ke south hemisphere (Bumi bagian utara). Debu ini akhirnya menutup sinar matahari.
Dampaknya selama setahun sinar matahari terhalang debu dan mengakibatkan penurunan suhu permukaan bumi secara global. Hilangnya cahaya matahari menyebabkan gagal panen di seluruh wilayah Eropa dan Amerika Utara. Sehingga bencana kelaparan terjadi di Eropa dan Amerika Utara akibat letusan gunung tambora di tahun 1815 ini.
Kesultanan Dompu Bertahan
Letusan gunung tambora juga membawa dampak yang sangat besar bagi roda pemerintahan Kesultanan Dompu. Menurut Prof. Dr. Helyus Syamsuddin, Ph.D, dengan mengutip Raffless, pada saat itu pusat pemerintahan yang terletak di situs Doro ‘Bata, Kandai Satu sekarang, tertimbun oleh abu vulkanik yang sangat tebal sehingga tak dapat lagi ditempati.
Pemerintah Kesultanan Dompu kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi baru, yakni lokasi Lingkungan Rato, Kelurahan Karijawa, sekarang ini.
Kesultanan Dompu tidaklah pernah musnah. Penduduk aslinya masih bertahan, Sultan dan seluruh struktur pemerintahannya masih ada, bahasa dan budaya yang sejak zaman Ncuhi ro Naka telah dimiliki masih ada, tidak ada yang hilang.
Menjadi sebuah kesalahan jika ada pihak yang mengatakan jika Dompu telah kehilangan bahasanya dan kemudian mengadopsi bahasa lain, atau ada yang mengatakan Dompu telah kehilangan budayanya lantas meminjam budaya bangsa lain.
Sangat aneh juga jika memperingati hari jadi Dompu pada tannggal 11 April. Sebab Dompu tidak pernah berdiri pada 11 April 1815. Kerajaan Dompu telah ada pada Abad ke-14 dan kemungkinan telah ada beberapa puluh tahun atau beberapa abad sebelumnya, disebutkan dalam sumpah palapa tahun 1336 M, ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 M, dan menjadi Kesultanan pada tanggal 24 September 1545 M, inilah Dompu baru. Dompu lama berada di masa hindu dan Dompu baru berada dalam pengaruh Islam.
Dan Dompu yang baru ini telah berumur 475 tahun! Bukan baru 205 tahun seperti yang dirayakan setiap 11 April itu.
Bagi Dompu, letusan maha dahsyat gunung tambora telah mengubur banyak sekali cerita negeri ini. Kita bisa memahami kalimat ini jika kita tahu bahwa begitu sedikitnya sumber informasi sejarah tentang masa lalu Dompu.
Begitu banyak hal yang telah terkubur di bawah tanah Dompu tempat kita berpijak. Letusan tambora telah memusnahkan sebagian besar populasi penduduk asli Kesultanan Dompu, yang kemudian membuat banyak etnis akhirnya datang dan mendiami Dompu.
(red/lensamandalika.com)