Kemarin (21/04) Belva Devara, salah satu dari tujuh Stafsus Milenial Presiden, secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Beberapa hari terakhir, sebagaimana kita tahu, polemik tentang staf khusus presiden terus menjadi perbincangan hangat di media. Bahkan sentimen negatifnya tak bisa dibendung.
Di tengah banyak hal yang harus diselesaikan presiden terkait penanggulangan wabah COVID-19 dan ancaman krisis ekonomi, polemik stafsus ini memang seolah menjadi kutu rambut yang tidak membahayakan tetapi sangat mengganggu kepala presiden. Masalahnya, presiden yang garuk-garuk kepala tentu tidak elok dipandang mata publik, bukan? Ada citra yang dipertaruhkan di sana.
Muasal Polemik Stafsus
Pada awalnya bukan Belva yang menjadi pusat perbincangan. Namun stafsus milenial yang lain, Andi Taufan Garuda Putra, yang juga CEO perusahaan ‘fintech’ Amartha. Pasalnya Andi melakukan tindakan yang dianggap melanggar aturan birokrasi sekaligus mencoreng citra lembaga kepresidenan.
Sebagai staf khusus, Andi atau siapapun hanya bisa bersurat ke dalam untuk memberikan rekomendasi terkait rencana kebijakan. Tidak boleh bersurat keluar apalagi menginstruksikan perintah kepada pejabat lain di struktur birokrasi pemerintahan tertentu. Staf khusus tidak memegang fungsi eksekutif semacam itu.
Masalah timbul ketika Andi Taufan menyurati para camat di seluruh Indonesia untuk membantu perusahaannya, PT Amartha Mikro Fintek, dalam melakukan edukasi pencegahan dampak COVID-19. Sesuatu yang disebut Andi dalam klarifikasinya sebagai inisiatif kerja cepat untuk membantu penanggulangan wabah corona. Benarkah demikian?
Problemnya, ada dua pelanggaran serius di sana. Pertama, ia bekerja melampaui kewenangannya dan itu merupakan pelanggaran birokrasi serius karena Andi memasuki ruang yang seharusnya di bawah jalur koordinasi Kementerian Dalam Negeri–meski Mendagri sekalipun tak akan mengirim surat langsung kepada para Camat. Sementara, surat yang dikirim Andi berkop Sekretariat Kabinet Republik Indonesia.
Kedua, ada indikasi serius terkait penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan perusahaan yang dipimpin Andi. Sekalipun seandainya tidak ada kerugian negara di dalamnya, yang mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi, tindakan Andi terlanjur tidak bisa melepaskan diri dari bias konflik kepentingan. Paling tidak, jika para camat se-Indonesia membantu relawan PT Amartha, ada potensi ‘big data’ yang bisa disalahgunakan di sana.
Untungnya publik merespons cepat dan Andi memutuskan untuk menarik surat itu serta meminta maaf kepada masyarakat. Desakan agar Andi mengundurkan diri atau presiden memecatnya pun menguat. Publik merasa permintaan maaf saja tidak cukup untuk menghapus pelanggaran berat yang terlanjur dibuat.
Bias Konflik Kepentingan
Dari sinilah barangkali episentrum polemik stafsus milenial presiden bergeser pada Belva Devara yang juga merupakan CEO Ruang Guru itu. Keterlibatan empat orang stafsus yang masih merangkap jabatan, termasuk Belva, dipersoalkan karena bias konflik kepentingan. Apalagi Skill Academy yang merupakan anak perusahaan Ruang Guru adalah salah satu penyedia jasa pelatihan daring dalam program Kartu Prakerja milik presiden.
Apakah ada keterlibatan Belva untuk ikut meloloskan Skill Academy sebagai salah satu penyedia jasa pelatihan di program Kartu Prakerja? Belva sudah membantahnya. Ia menyebut tak pernah hadir dalam seluruh rangkaian rapat bersama Kemenko Perekonomian dan Manajemen Pelaksana (PMO) untuk memutuskan lembaga atau perusahaan mana saja yang akan ditunjuk pemerintah.
Dalam serial ‘tweet’ yang ditulis Belva sebagai bentuk klarifikasi (15/04), ia menegaskan tidak ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ia juga menyebut bersedia mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari persepsi negatif dan asumsi keliru dari publik. Belva menegaskan komitmen bahwa posisinya sebagai staf khusus presiden merupakan bentuk kontribusinya bagi bangsa dan negara.
Sebenarnya problem utama dari polemik ini adalah bias konflik kepentingan. Posisi empat orang stafsus milenial, Andi Taufan yang merupakan CEO Amartha, Belva Devara yang merupakan CEO Ruang Guru, Putri Tanjung yang merangkap CEO Creativepreneur dan Billy Mambrasar yang merangkap CEO Kitong Bisa, dikhawatirkan berpotensi merugikan negara. Posisi strategis mereka di lingkaran utama presiden rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi maupun perusahaan.
Polemik yang menimpa Andi Taufan dan Belva Devara adalah contoh nyata bahwa rangkap jabatan itu berbahaya atau, paling tidak, potensial disalahgunakan. Dana besar yang disebut total mencapai 5,6 triliun (Rp1 juta dikali 5,6 juta peserta) untuk pelatihan Kartu Prakerja, meski tentu tidak semua dikerjakan Skill Academy by Ruang Guru, pasti menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan publik jika ada staf khusus presiden yang menjadi pemimpin perusahaan pemenang tendernya.
Sejumlah pengamat bahkan menyebut rangkap jabatan yang dilakukan staf khusus presiden ini bisa berbahaya bagi citra presiden sendiri. Presiden yang dikenal konsisten melawan korupsi, justru bisa dianggap memberi jalan untuk tindakan nepotisme di lingkaran utamanya. Bahkan muncul istilah ‘oligarki milenial’ untuk mengkritik fenomena ini, selain bahwa tindakan tidak etis yang dilakukan salah satu stafsus milenial presiden disebut ‘mempermalukan’ generasi milenial.
Belva Memberi Teladan
Selasa malam (21/04) Belva Devara melalui surat terbuka yang diunggahnya di Instagram akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya. Keputusan itu pun disebut telah disetujui Presiden. Keputusan Belva harus kita apresiasi bersama, ia memberi teladan baik sebagai pemimpin milenial maupun sebagai pejabat publik.
Belva menunjukkan kepada kita bahwa kepentingan negara harus diletakkan di atas kepentingan pribadi, perusahaan, golongan atau apapun. Tidak boleh ada lagi ruang untuk potensi konflik kepentingan. Pengunduran dirinya menjadi salah satu pemecah kebuntuan polemik ini. Keputusannya bukan hanya tepat, namun sekaligus menjadi preseden yang baik bagi demokrasi dan politik kita ke depan.
Pejabat yang mengundurkan diri bukanlah sesuatu yang biasa di Indonesia. Sebagai milenial, Belva membuktikan bahwa ia berbeda. Bahkan ia berbeda dari stafsus milenial lainnya. Ia berusaha membuktikan integritasnya. Ia bisa melakukan ‘disrupsi’ bagi kultur dan tradisi politik yang mapan di negeri ini. Dan kesempatannya untuk berkontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara justru semakin terbuka lebar, dengan respek dari masyarakat, tentu saja.
Apakah langkahnya perlu diikuti oleh stafsus yang lain yang memiliki potensi masalah yang sama? Ini mungkin ‘debatable’. Dan akan menimbulkan polemik lain. Presiden juga pasti memiliki pertimbangan tersendiri yang matang tentang ini, menghitung segala kemungkinannya.
Yang jelas, apa yang ditunjukkan Belva hari ini memberikan harapan kepada kita bahwa generasi milenial belum selesai. Bahwa generasi ini masih memiliki harapan luar biasa besar untuk bisa mewujudkan Indonesia gemilang di tahun 2025 dan waktu-waktu mendatang.
Terima kasih, Belva! Terima kasih karena telah menunjukkan teladan dan integritas. Mari kita terus berjuang untuk republik ini.
Tabik!
FAHD PAHDEPIE