Banyak sudah membahas kedua kata ini baik dari segi nyinyir maupun sudut jujur. Bahkan ada yang sampai menuduh kajian sebagai pendapat lalat yang mencari bangkai busuk atau pendapat madu yang mencari gula dan nektar yang harum dan manis. Bagi saya, kedua kata itu mesti didudukkan dalam perspektif linguistik dan sosiologis.

Secara linguistik, kedua kata tersebut merujuk pada makna yang sama, kegiatan menuju ke suatu tempat bernama Udik atau Kampung. Akan tetapi, pelaku dari kegiatan tersebut berbeda. “Udik” membutuhkan kata kerja aktif dgn awalan me- yg dalam banyak bahasa direalisasikan dalam bentuk nasal alveolar seperti (N-) dlm bahasa Indonesia (rokok — ngerokok), Jawa (kulon — ngulon), Sasak (eno — ngeno) atau nasal bilabial seperti dalam bahasa Betawi (undur–mundur). Dengan demikian, udik membutuhkan subyek aktif melaksanakan kegiatan. “Kampung” hanya bisa berkolokasi dgn “pulang” dan tdk ada dalam kognisi kita ungkapan “ngampung” atau “pergi kampung”. Jika ‘udik’ mendapat awal aktif yg terealisasi dlm bentuk nasal, berperilaku aksional (seperti awalan me- dlm bahasa Indonesia), dan subyeknya adalah pelaku aktif, ‘pulang’ dan kolokasinya ‘kampung’ hanya bisa memperoleh awalan ber- (berpulang kampung) menunjukkan pelakunya bukan pelaku aksional (melakukan aksi) tetapi pelaku behavioral (membawa sifat tertentu). Dengan demikian, ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ mencerminkan suasana (mood) berbeda dr pelakunya: yang satu ceria, yang lainnya duka. Sungguh cerdik siapa pun yang membedakannya karena memang keduanya memiliki dimensi sociolinguistik berbeda.

Namun demikian, secara sosiologis, mudik dan pulang kampung ditimbulkan oleh sebab dan menimbulkan akibat yang sama. Kita semua adalah orang ‘udik’ kampung yang “mudik” atau pun “pulang kampung” setiap waktu. Jangankan tinggal di Jakarta yang dari dulu adalah Kampung Besar (The Big Village) dgn nama-nama berasosiasi dg kampung dan udik seperti rawa, pondok, kebun, cabe, atau tinja, ketika kita tinggal di kota kosmopolitan pun seperti di London, New York, Paris atau Sydney kita akan berkata “mudik” atau “pulang kampung” saat pulang ke Indonesia krn Indonesia adalah kampung halaman kita. Hubungan kita dengan kampung halaman tdk akan pernah terputus dan bahkan tersambung kuat melalui jejaring sosial (misal, komunitas Indonesia, organisasi berbasis suku), makanan yang kita makan (gado-gado atau salad), baju yg kita pakai (sarung atau blue jeans), atau permainan yg kita mainkan (sepak bola atau rugby). Hatta kita di Bulan atau di Mars sekali pun, mudik atau pulang kampung akan tetap menjadi pengalaman manusia. Baik menjadi manajer atau hanya cleaning service saja, kisah “mudik” atau “pulang kampung” akan tetap menjadi hal yang sama dimana kisah sukses (sucess story) dr migrasi atau petualangan transnasional diceritakan, dikisahkan kembali dan bahkan didramatisir bersama-sama. Kisah sukses ini mendorong kita utk mudik atau pulang kampung. Kisah ini akan terulang kembali di tahun berikutnya, dengan kisah sukses yang berbeda. Mengkaitkan salah satunya atau keduanya dg kegagalan adalah wacana irrealis krn kegagalan hanya menyebabkan aktivitas “pulang” tanpa balik lagi sementara “mudik” dan “pulang kampung” selalu mengimplikasikan balik kembali.

Memang bentul mudik dan pulang kampung memiliki dimensi waktu berbeda. Mudik saat lebaran dan pulang kampung bisa kapan saja. Tetapi ingat, mudik atau pulang kampung selalu berkonotasi dengan sukses dan uang sangu. Mudik atau pulang kampung punya akibat yang sama: tunjukkan kesuksesanmu.

Orang-orang di Udik atau di Kampung akan berharap mendapatkan adanya tetesan kesuksesan itu. Ketika yang minta dibelikan rokok (bukan krn mereka tdk punya uang sendiri), anda tidak bisa mengatakan “saya tdk mudik” (dengan implikasi kesuksesan) tetapi “saya pulang kampung” (dgn implikasi kegagalan). Bagi mereka, mudik atau pulang kampung bermakna sama saja.

Jadi, mau mudik atau pulang kampung, anda harus sediakan uang saku yang cukup banyak. Jika tidak, sebaiknya jangan. Saya khawatir anda tidak akan bs balik ke kota lagi.

Mataram, 25 April 2020