Oleh : Ahmad S N
Direktur RKM Institute

Opini- Wabah ini sudah berlangsung kurang lebih 4 bulan. Sederetan nama-nama kasus positif kian hari makin bertambah, rilis yang dikeluarkan oleh Tim Gugus Penanganan Corona itu juga sekarang tidak manjur seperti dulu-dulu, ada yang ditanggapi dengan cemas dan patuh, ada yang tidak peduli juga ada yang sampai sekarang merasa masih dibohongi. Sadar penyakit iniĀ  menular, tapi tidak mematikan katanya, cuman flu biasa toh juga ada yang sembuh.

Kasus positif ini memang tidak pandang bulu, mulai dari posisi Menteri sampai Dewan, dari Sekelas pejabat Istana Negara sampai ke Masyarakat yang kantornya dimana-mana alias kerjanya tidak tetap.

 Alat Termometer untuk cek suhu tubuh pun dibeli massal, tidak hanya dipakai di Rumah Sakit, di Toko-toko, Pelabuhan bahkan juga di portal-portal masyarakat desa, petugas sibuk memeriksa suhu tubuh masyarakat yang berlalu lalang.

Banyak sudah yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi pandemi ini, mulai dari Social Distancing hingga PSBB, meliburkan sekolah juga  mengosongkan tempat ibadah, dan yang terbaru dari Stay at Home sampai ke New Normal, tidak ada yang sia-sia pasti ada pelajaran berharga meski itu kritik terhadap inkonsistensi kebijakannya.

Hari demi hari juga berlalu, dari ratusan, ribuan hingga ratusan ribu kasus positif sampai hari ini, sudah berapa rilis dikeluarkan, sudah berapa banyak kepentingan dikorbankan, kita percaya kita bisa melalui ini, katanya badai pasti berlalu, gemerlap pesta pasti ada bubarnya, kata pandemi pasti ada akhirnya.

Saya sebenarnya tidak ingin berkomentar apa-apa, taapi tetiba jari-jemari merasa ingin berdansa di keyboard yang rapuh, bukan untuk pemerintah, tenaga kesehatan, juga bukan untuk masyarakat saja, atau yang trending juga bukan mewakili suatu mazhab tertentu, ini untuk kita semua, dan jika kita berhasil melawan pandemi ini, dengan bersama pula kita berhasil melewatinya.

Corona/Covid-19 dan dengan nama latin lainnya memang tidak terlahir di Indonesia, dari wuhan suatu pusat kota di Negara China, tempat itulah lalu lintas menuju kawasan lain dari sepenjuru China. Darisana kasus corona pertamakali muncul, kemudian melockdown China, berkembang biak hingga sampai ke Indonesia.

Bukan suatu kebetulan sampai ke Indonesia, bukan dari kelelawar yang terbang melintasi samudera yang bermil-mil, atau senjata masal Negara itu, Sudahlah ! apa gunanya mencerca keadaan dan takdir, seluruh dunia merasakan corona ini, terbebas dari konspirasi pun corona ini mengajak semua manusia kooperatif, saling menjaga, terbuka, dan terutama tentang kesiapan menghadapi kemungkinan.

Mungkin kali ini pertama kalinya kita merasa paling beruntung dari para tenaga medis yang bekerja bertaruh nyawa, entahlah itu tentang bahasan corona yang merupakan flu biasa atau bukan penyakit yang mematikan, tapi tenaga medis adalah manusia, justru mungkin lelah dan letihnya yang perlu kita hormati, lalu para dokter juga ada yang berguguran, ketika lebaran kita enak dengan ayam dan opor yang melezatkan, silaturahmi dengan keluarga, sedangkan mereka ? masih tetap bekerja dan Lockdown seisi rumahnya.

Tentu juga banyak pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Tim Kesehatan kita ? kenapa juga corona di Indonesia  tidak seganas di Venezuela itu ?, Entah masyarakat mau cari tau kemana, mungkin ke Pemerintah yang sudah rela mengeluarkan bantuan sosial ke masyarakat ini mau menjawab. Tapi masyarakat sekarang sudah modern, kondisi di Amerika, Venezuela, Brazil hanya di ketikan jari saja, yang dikota maupun di desa juga sama.   

Pemerintah dan Masyarakat adalah setali tiga uang, atau sekeping uang logam tidak ada bedanya. Terlebih dalam mengatasi pandemi ini, kita semua tidak berdaya jika tidak kooperatif dan menjaga solidaritas, satu kena getah semua dapat imbasnya. Satu kebijakan dikeluarkan seratus bahkan seribu alasan di lontarkan.

Belum-belum juga ternyata kita menghadapi gelombang dua pandemi corona ini, gelombang ke dua ternyata lebih ngeri juga, jumlah terinfeksi virus akan melonjak 90%, masyarakat yang sebelumnya tidak terinfeksi kemugkinan besar akan menambah panjang kasus positif, terlebih vaksin belum ketemu, lalu semua itu siapa yang harus bertanggung jawab ? tentu kita akan menjawab tim kesehatan yang akan di garda terdepan.

Saudaraku, Kawan, dan Teman-teman, kita adalah tim kesehatan untuk diri kita masing-masing. Kalau kita tidak sadar akan diri kita, siapa yang jamin kita akan tetap kebal dari virus, tim kesehatan pun pemerintah, semua akan berjubel dengan diri masing-masing. Lalu ada satu yang disalahkan di akhir, yaitu media/pers yang terlalu provokatif. Ah sudahlah, kita tidak berdaya kawan kalau jawaban akhirnya seperti itu.

Kita cepat terstigmatisasi  karna rupanya kita tidak saling percaya, entah kita dari mazhab mana, pemerintahkah, kesehatankah atau mazhab terserah. Pemerintah harus adil dan konsisten !. Masyarakat harus patuh dan mengawasi, sehingga kelarasan bisa terwujud antara pencegahan dan tindakan oleh tim kesehatan. Barulah adil ketika konsistensi kebijakan jangan dijadikan nomor dua daripada keselamatan bersama.

Pada intinya kita ingin melewati pandemi ini segera, atau jika itu konsep New Normal sekalipun kita akan melewatinya bersama. Kenapa kita lebih banyak mendahulukan egoisme dan perbedaan daripada mendahulukan anugerah bahwa pandemi ini  bisa menyatukan kita.            

Cinta itu adalah sepatutnya yang harus kita cintai, dan permusuhan itu adalah yang harus sebenarnya kita musuhi katanya seorang penyair. Disinfektan itu tidak perlu harus disemprotkan ke seluruh bagian tubuh. Atau bahkan sampai harus di suntikkan katanya Presiden Trump yang bahasanya jadi kontroversial, Justru Disinfektan itu hari ini kita letakkan dihati kita, hingga berbuah kesadaran dimana-mana. (Red/Letter A)