Oleh : Ahmad S N
Direktur RKM Institute

Opini- “Sejarah tidak lebih dari sekedar biografi orang-orang besar” itulah suatu ungkapan yang menunjukkan bahwa dalam setiap agenda-agenda perubahan dan serial kepahlawanan tidak terlepas dari pejuang-pejuang besar, intelektual-intelektual lintas peradaban atau tangan dingin para konseptor dan cendekiawan merekalah yang kemudian kita sebut sebagai pahlawan yang dari tangan-tangannyalah sejarah itu tercipta dan dari tinta-tinta merekalah sejarah itu kemudian tertulis.


Momentum kepahlawanan tidak terlahir begitu saja, ia adalah pembacaan yang ulung terhadap realitas sosial yang terjadi pada suatu momentum pada waktu tertentu, ia adalah bacaan yang kuat terhadap respon dari perubahan sosial yang menyentakkan dada dan fikirannya, bahwa realitas sosial yang terjadi sudah menyimpang dari nilai kepercayaan zaman dan motif-motif kemanusiaan yang membangkitkan rasa kemanusiaan yang heroik yang terpancarkan darinya suatu keresahan, tidak mengenal darah yang masih sangat muda, atau akar-akar para generasi tua, ia akan berjibaku merespon hal tersebut.


Karena bagi mereka motif perjuangan selalu lebih besar daripada umur sekalipun entah itu tua ataupun muda,lihat saja kita bisa belajar dari pahlawan-pahlawan kita Jenderal Sudirman yang telah menjadi panglima pada umur 31 tahun dan gugur pada usia 34 tahun atau sebut saja KH. Agus Salim atas diplomasinya memerdekakan Indonesia, kakek tua berkumis dan berpeci hitam yang diberi julukan “The Grand Old Man atau Kakek tua besar”.


Pahlawan, orang-orang itulah yang cara fikirannya melampaui zamannya, hidupnya sendiri telah ia serahkan tidak hanya untuk dirinya tapi untuk semua orang . Bagi seorang pahlawan tentu setiap gerakan kepahlawanan memiliki motif kuat yang melatarinya. Pertemuan antara motif dan momentum itulah yang menjadikan sebuah ledakan besar menjadi momentum kepahlawanan. Itulah yang dilakukan Raden Saleh, motif tentang kemerdekaan Indonesia telah mengilhami dirinya, sehingga melalui karya lukisan-lukisannya mulai menggambarkan keinginan bangsanya untuk merdeka, yang mahsyur misalnya melalui karya ‘Penangkapan Diponegoro’ sehingga tidak salah jika sastrawan Pramodya Ananta Toer menyebut Raden Saleh sebagai “Individu Nasional Pertama di Nusantara”.


Bagi pahlawan ada dunia lain yang ia impikan, yang ia kejewantahkan atas nama perlawanan dan pembelaan, 2 kata itu seperti terlahir sendiri dari rahim kepahlawanan, ia tidak bisa dipisahkan, kata yang tidak terlalu rumit tapi menuntut suatu pengorbanan dan tanggung jawab.


Bagi kita membaca momentum kepahlawanan itu sangat berarti, karena sebuah ungkapan mengatakan “A History is Repeat Itself” atau sejarah akan mengulang dirinya sendiri.

Sejarah kepahlawanan tidak pernah usang untuk dibuka, orang-orang mengatakan setiap lembaran waktu akan menemukan anak zamannya, sehingga sangat elok jika puisi Chairil Anwar ini patut kita kembali resapi


Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Didepan sekali tuan menanti
Tak Gentar, lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Selamat Hari Pahlawan, Bangsa yang beradab tidak akan pernah melupakan jasa-jasa para pahlawannya. (Red/Letter A)