Mandalika menjadi kata yang familar ditelinga masyarakat Lombok, Indonesia bahkan masyarakat dunia. Transformasi makna kata Mandalika merupakan keniscayaan dari perubahan sosial yang terus-menerus digerakkan oleh interaksi aktifitas manusia.
Dulu, dalam pengetahuan masyarakat Lombok, Mandalika merupakan nama panggilan seorang putri raja dari kedatuan Tonjeng Beru nan cantik jelita. Kecantikan rupa dan kebaikan prilaku sang putri membuat pangeran dari berbagai kerajaan bertanding untuk mempersuntingnya.
Demi kedamaian dan ketentraman antar kerajaan, Mandalika memilih terjun dari atas bukit menuju pantai di kawasan selatan pulau Lombok. Pengorbanan sang Putri Mandalika menjadi kisah yang diabadikan dalam Tradisi Bau Nyale (menangkap cacing/biota laut) dan dipercaya masyarakat Lombok sebagai penjelmaan dari Putri Mandalika.
Mandalika dulu identik dengan sebuah terminal di Kota Mataram yang menjadi tempat penghubung interaksi sosial berbagai suku bangsa. Mandalika juga identik dengan sebuah lapangan umum di Kecamatan Pujut. Lapangan ini menjadi lokasi favorit generasi X dan Y menghabiskan waktu sore dengan aktifitas olahraga dan malam diatas gemerlapan rona-rona (Pasar malam).
Romansa Mandalika dulu tak bisa dinikmati generasi Z karena rindangnya pohon di pelosok pedalaman berganti bangunan megah penuh cahaya buatan pengetahuan manusia.
Gemerlap Kota di Mandalika Kini.
Mandalika kini, sejak ditetapkannya Lombok dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Koridor V pada tahun 2014, maka dimulailah Mandalika sebagai branding sebuah destinasi wisata.
Geliat aktivitas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika hari ini berlangsung siang dan malam. Aktifitas mesin tanpa henti berbunyi menggerakkan roda perekonomian daerah. Aktifitas pembangunan ini juga dinikmati oleh warga lokal dengan mengeruk bukit-bukit yang ada di kawasan selatan Lombok untuk menunjang percepatan Mandalika.
Tuhan memang menciptakan alam untuk terpenuhinya segala kebutuhan manusia. Sebab, mengeruk bukit-bukit merupakan satu-satunya keahlian warga lokal untuk bisa mengambil bagian dari pembangunan Mandalika.
Branding Mandalika kini sebagai destinasi wisata melekat pada sebuah desa yang dulunya rimbun karena dikelilingi hutan belantara, menjadi tempat hidup dan berkembang biak berbagai jenis flora dan fauna. Lahan desa itu kini dijual secara terbuka kepada para pemilik modal dari berbagai penjuru dunia untuk berinvestasi dan membangun kota baru menuju peradaban berbasis pariwisata.
Desa itu kini dikenal dengan nama Kuta Mandalika. Pedalaman Kuta Mandalika kini menjadi gemerlap desa metropolis tempat berinteraksi berbagai suku bangsa di dunia. Berkunjung ke desa itu kini lebih mudah menjumpai para pendatang dibandingkan berbahasa dengan penduduk lokal. Jika hal ini terus dibiarkan, eksistensi penduduk lokal dan budayanya akan kalah bersaing dengan budaya para pendatang.
Kini, warga lokal perlu menyiapkan diri dan merebut peluang dari keniscayaan kehidupan desa yang bertransformasi menjadi gemerlap kota di Mandalika.
Harmoni Manusia dan Alam di Mandalika Nanti
Penetapan Lombok dalam kawasan Koridor V MP3EI sebagai pintu gerbang pariwisata nasional melalui Bandara Internasional Lombok dan KEK Mandalika (Perpres No 29 Tahun 2011; Perpres No 48 Tahun 2014 Tentang MP3EI) merupakan pijakan awal bagi pembangunan pariwisata Lombok.
Selain itu, Lombok juga berhasil meraih penghargaan World Best Halal Tourism Award 2015-2016 serta sebagai destinasi pariwisata halal unggulan terbaik nasional pada 2018-2019 (IMTI, 2019).
Kebijakan pemerintah pusat ini melahirkan program 10 Bali baru, Mandalika dan 4 lainnya ditetapkan sebagai Destinasi Super Prioritas Nasional. Penetapan Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Kawasan Strategis Pariwisata Nasional menjadi peluang sekaligus tantangan bagi daerah yang harus dihadapi kedepan.
Penetapan ini menjadi awal mula perubahan aktifitas pekerjaan masyarakat dari agraris ke industri pariwisata. Keindahan alam dan budaya yang ada di destinasi Mandalika menjadi daya tarik unggulan atraksi untuk disuguhkan kepada wisatawan. Pun dengan detinasi wisata di daerah lain juga menyuguhkan keindahan alam dan budayanya sebagai atraksi wisata.
Oleh sebab itu, pergeseran paradigma pembangunan dunia dari Antroposentris menuju Geosentris, menjadi misi Mandalika nanti. Pariwisata merupakan sektor sentral untuk mewujudkan misi itu. Mandalika nanti harus menjadi simbol kawasan yang mendukung terciptanya keharmonisan manusia dan alam.
Pelestarian budaya dan kelestarian alam menjadi kunci utama dalam menunjang peradaban yang lebih baik untuk generasi yang akan datang.
Berdasarkan tata ruang wilayah Kabupaten Lombok Tengah, Kuta Mandalika berada pada posisi strategis dan direncanakan menjadi kawasan stategis kebupaten untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, Mandalika terletak diantara dua kawasan Taman Wisata Alam yakni TWA Gunung Tunak disebelah timur dan TWA Tanjung Tampa disebelah barat.
Kedua kawasan TWA ini dapat difungsikan sebagai kawasan ekowisata untuk tujuan konservasi flora dan fauna guna terciptanya keseimbangan wisata dan pelestarian alam. Hal ini merupakan peluang untuk menciptakan Mandalika nanti yang berkelanjutan demi manusia yang akan datang.
Mandalika nanti juga dituntut untuk menjaga kearifan masyarakat lokal yang mayoritas beragama Islam. Hal ini tentu harus didukung dengan terpenuhinya kebutuhan ibadah masyarakat lokal pada Tuhannya.
Di tambah lagi, berdasarkan (Crescentrating, 2019) pertumbuhan wisatawan muslim global terus mengalami peningkatan. Tahun 2016, jumlah wisatawan muslim dunia mencapai 121 juta, 131 juta pada 2017, 140 juta pada 2018, bahkan jika tidak ada Covid-19 diperkirakan pada tahun 2020 jumlah wisatawan muslim dunia mencapai 158 juta dengan pengeluaran perjalanan mencapai US$ 80 milyar hingga US$ 300 milyar pada tahun 2026.
Fakta ini tentu merupakan peluang untuk menarik minat wisatawan muslim global yang setiap tahun mengalami pertumbuhan. Maka, supply penyediaan fasilitas pendukung kebutuhan khusus wisatawan muslim harus disiapkan pada destinasi maupun industri wisata Mandalika. Pelayanan dan penyediaan ini sudah didukung oleh kearifan lokal masyarakat Sasaq yang mayoritas muslim. (Red/LM)