Lensamandalika.com – Sengkarut mengenai pembebasan lahan di sekitar Sirkuit Mandalika hingga hari ini masih belum menemui titik terang. Lahan warga telah beberapa kali melewati tahap rekonsiliasi melalui satuan tugas (Satgas) yang dibentuk oleh Gubernur Provinsi NTB. Satgas penyelesaian sengketa tersebut diketuai langsung oleh Kepala Bakesbangpoldagri Provinsi NTB Lalu Abdul Wahid.
Mengenai sengketa lahan tersebut, satgas telah mengerucut pada kapan pembayaran akan dilakukan. Diharapkan pembayaran bisa dilakukan sebelum gelaran latihan pramusim MotoGP pada 11-13 Februari 2022 mendatang.
Camat Pujut, Lalu Sungkul kepada Lensamandalika, Selasa (28/12) mengatakan agar pemerintah bisa mengadvokasi persoalan tersebut. Dikatakannya, jika masih ada lahan yang penyelesaian sengketanya melalui proses peradilan agar pemerintah bisa membiayai proses peradilan.
“Sebagai bentuk kepedulian pemerintah dan bantuan advokasi kepada masyarakat yang akan memutus perkara di persidangan,” katanya.
Selanjutnya, Camat yang menguasai setidaknya 5 bahasa asing itu mengatakan agar permasalahan tersebut juga bisa diselesaikan dengan kearifan lokal yang ada dan dipercaya oleh masyarakat setempat yaitu melalui ritual meminum air tanah yang diambil langsung dari Makam Nyatoq.
“Nanti kepada saksi-saksi di pengadilan itu, kita gelar ritual Minum Air Nyatoq sebelum mereka memberikan kesaksian. Kalau betul dia pernah tau, pernah dengar, pernah lihat transaksi antara pemilik tanah dengan ITDC agar mereka memberikan kesaksian yang sebenar-benarnya,” jelasnya.
Mengenai minum air nyatoq atau oleh warga Lombok Tengah kerap disebut dengan ‘Begarap’, Lalu Sungkul mengatakan bahwa hal tersebut kerap menjadi jalan keluar terhadap permasalahan yang buntu di tengah-tengah masyarakat.
“Selain saksi di Sumpah dengan Alquran, kita pertegas lagi dengan minum air tanah dari Makam Wali Nyatoq. Sejauh ini kearifal lokal kita mampu menjadi solusi atas berbagai masalah sosial yang kita hadapi,” tegasnya.
“Rekomendasi ini ditujukan kepada Satgas untuk mendorong semua pihak agar mendukung guna terciptanya pembangunan yang berkelanjutan di Mandalika dan tidak ada konflik lanjutan, utamanya konflik lahan yang hingga saat ini belum selesai,” imbuhnya.
Permasalahan lahan yang ada di kawasan Mandalika bahkan sempat disorot oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Olivier De Schutter, Pelapor Khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia mengutip tirto.id mengatakan bahwa para ahli menyoroti pengusiran masyarakat lokal dan perusakan rumah, ladang, sumber air, situs budaya dan agama.
Megaproyek itu dinilai “menginjak-injak hak asasi manusia”, pembangunan tersebut memicu perampasan tanah masyarakat adat Sasak secara agresif dengan penggusuran paksa, mengancam pembela HAM, serta mengusir para petani dan nelayan dari tanah sendiri.
“Sumber yang dapat dipercaya telah menemukan bahwa penduduk setempat menjadi sasaran ancaman dan intimidasi dan diusir secara paksa dari tanah mereka tanpa kompensasi. Terlepas dari temuan ini, ITDC belum berusaha untuk membayar kompensasi atau menyelesaikan sengketa tanah,” kata dia.
De Schutter juga menyoroti bahwa proyek Mandalika menguji ‘komitmen terpuji Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan kewajiban hak asasi manusia yang mendasarinya’. Pengembangan pariwisata skala besar yang ‘menginjak-injak hak asasi manusia’ pada dasarnya tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. (red/lm)