Lensamandalika.com – MotoGP Mandalika 2024 menghadapi beberapa tantangan, di antaranya adalah kendala dalam pembayaran biaya hosting sebesar Rp 231 miliar. Selain itu, rendahnya minat pembelian tiket balapan menjadi isu utama.

Hingga 29 Agustus 2024, panitia melaporkan bahwa hanya 6.360 tiket yang berhasil terjual, jauh di bawah target 80 ribu tiket. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengurangi semangat penonton di sirkuit saat acara berlangsung pada 27-29 September mendatang.

Permasalahan klasik melambungnya harga akomodasi di kawasan Mandalika masih disebut menjadi alasan utama rendahnya minat penonton menyaksikan MotoGP Mandalika.

Hal tersebut diungkapkan Troy Warokka, Chairman MotoGP Mandalika sekaligus Direktur Komersial ITDC. Dikatakan Troy, harga akomodasi mengalami lonjakan yang signifikan menjelang perhelatan MotoGP.

“Salah satu masalah utama yang muncul setiap tahun adalah mahalnya harga akomodasi. Kami mengimbau para pelaku usaha pariwisata untuk tetap mempertimbangkan harga yang wajar. Bisnis tetap bisa berjalan baik, namun harga harus tetap logis agar mendapat respons positif dari para turis, terutama di era media sosial ini,” jelas Troy mengutip detikOto, Senin (9/9/2024).

Troy menyebut mahalnya biaya akomodasi di MotoGP Mandalika sebanding dengan seluruh kebutuhan penonton untuk tiga hari empat malam di Sepang.

Mengomentari hal tersebut, Sekjen Mandalika Hotel Association (MHA), Rata Wijaya tidak sependapat jika biaya akomodasi yang dinilai mahal menjadi biang kerok sepinya minat penonton untuk menyaksikan MotoGP Mandalika.

“Kalau pihak penyelenggara MotoGP bilang harga hotel jadi penyebab, mending tutup aja eventnya. Dari tahun A hotel terus yang jadi kambing hitam,” ketus Rate saat dikonfirmasi Lensa Mandalika (Senin, 9/9/2024).

Dirinya mempertanyakan kinerja ITDC dan MGPA yang menurutnya gagal mempersiapkan MotoGP Mandalika sehingga setiap tahun jumlah tiket terjual selalu tidak sebanding dengan target.

“Penonton yang datang selalu berkurang. Tetiba minta dibantu hosting fee ke Pemda, Pemda nggak mau lah, ujuk-ujuk mau keluarin duit ratusan milyar, sedangkan kontribusi MotoGP untuk PAD tidak seberapa,” beber Rate.

Mengenai harga hotel, dirinya menilai akomodasi mempunyai segementasi tersendiri. Harga juga bergantung pada fasilitas yang didapatkan oleh para tamu.

“Sebelum MotoGP kita sudah mahal memang, Kalo mau murah banyak kok pilihan,” ungkap pria yang sudah malang melintang di dunia pariwisata itu.

“Jikapun tidak ada MotoGP, bulan September itu termasuk ramai kunjungan di Mandalika. Itu tidak hanya terjadi tahun ini, tapi sudah bertahun-tahun sebelumnya,” Imbuh Rate.

MotoGP, kata Rate merupakan atraksi wisata yang Segemented Market. Artinya, hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang menonton, tidak semua kalangan suka menonton balapan.

“Apalagi kalau mau targetkan orang Lombok yang mau beli tiket, mereka dikasih gratispun kadang ngga mau nonton karena memang passionnya bukan nonton balapan,” jelas Rate.

Dirinya juga tidak sependapat jika MotoGP Mandalika dibanding-bandingkan dengan penyelenggaraan MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia.

“Tiket pesawat ke Malaysia itu selalu bisa lebih murah daripada tiket ke Lombok. Jadi jangan hanya kambing hitamkan akomodasi kalau masalah lain yang lebih besar kalian tidak bisa selesaikan. Intinya MGPA gagal, kalian minta gaji besar, kebutuhan selangit tapi tidak bisa kerja, bikin malu,” pungkas Rate.