Lensamandalika.com – Dexamethasone banyak ditemukan di toko daring. Padahal Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengimbau agar tak sembarangan mengkonsumsi secara serampangan. Di sisi lain, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan ijin terkait penggunaan obat ini.
Hasil pantauan koran ini, di sejumlah apotek di wilayah Tangerang Selatan, Banten, tidak ada situasi yang khusus terkait penjualan obat deksametason. Salah satu penjaga apotek menuturkan mereka menjual sesuai ketentuan. Bahwa obat tersebut hanya bisa dibeli dengan resep dokter.
Di aplikasi pembelian obat-obatan online seperti Halodoc, obat deksametason juga masih banyak dijual. Di antaranya adalah merek Dexamethasone berlabel generik. Untuk varian 0,5 mg 10 tablet, dibandrol Rp 3.800 untuk satu trip. Sementara itu obat serupa dengan merek Dexa-M 0,75 mg dari Dexa Medica dijual Rp 3.000 per strip berisi 10 tablet. Kedua obat ini bisa dibeli dengan wajib dengan resep dokter.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC-19) menghimbau agar masyrakat tidak membeli maupun menggunakan obat dexamethasone sembarangan tanpa resep dokter. Tim Komunikasi GTPPC-19 Reise Broto Asmoro menegaskan bahwa dexa bukan penangkal COVID-19
Reisa mengungkapkan, semenjak Badan Kesehatan Dunia atau WHO mengeluarkan rilis yang merekomendasikan penggunaan obat Dexamethasone untuk penanganan COVID-19 beberapa waktu lalu, diketahui banyak yang kemudian mencari obat ini.
Kendati direkomendasikan oleh WHO, namun faktanya obat tersebut bukan penangkal COVID-19, dan hanya merupakan kombinasi obat-obatan. “Obat ini tidak memiliki khasiat pencegahan. Ini bukan penangkal COVID-19, ini bukan vaksin,” kata Reisa kemarin (19/6).
Reisa menjelaskan bahwa Dexamethasone merupakan obat golongan kortikosteroid. Dexamethasone bekerja dengan cara mengurangi peradangan (inflamasi) dan menurunkan sistem kekebalan tubuh, sama seperti steroid yang dihasilkan oleh tubuh secara alami.
Penggunaan Dexamethasone kata Reisa juga tidak boleh sembarangan. Sesuai dengan rekomendasi WHO, obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang terkonfirmasi dengan sakit berat, kritis, membutuhkan ventilator dan bantuan pernafasan. “Obat ini dianjurkan karena dipercaya bisa mengurangi jumlah kematian sebesar 20 sampai 30 persen dari kasus-kasus tersebut,” ujar Reisa.
Selain itu, obat ini kata Reisa tidak memiliki dampak atau bukan terapi untuk kasus-kasus konfirmasi yang sakit ringan, atau tanpa gejala. pemakaian obat-obat steroid untuk COVID-19 hanya dibolehkan dalam pengawasan ahli dan para dokter. Terapi yang dilakukan pun harus berada di sarana dengan fasilitas yang memadai. Paramedis yang terlibat juga tentunya harus siap untuk menangani efek samping yang dapat terjadi.
Penggunaan Dexamethasone juga tidak boleh sembarangan. Terapi yang sudah dilakukan untuk jangka panjang tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba. Dalam hal ini, dokterlah yang akan menurunkan dosis secara bertahap (tapering off), sebelum menghentikan obat ini.
“Penderita yang telah mengkonsumsi untuk jangka panjang, tidak boleh menghentikan konsumsi obat secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan dokter. Penggunaan untuk jangka panjang juga ada efek sampingnya,” jelas Dokter Reisa.
Lebih lanjut, Reisa juga menjelaskan bahwa penggunaan obat tersebut tidak boleh sembarangan diberikan kepada siapa saja dan harus melihat faktor usia. Karena dosis dan lama penggunaan Dexamethasone diberikan berdasarkan usia, kondisi, dan reaksi pasien tersebut terhadap obat.
Dia juga menambahkan, meski harganya terjangkau, namun penggunaan Dexamethasone wajib melalui konsultasi dokter, agar tidak menimbulkan efek samping dari obat tersebut. “Selalu konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter sebelum menggunakan obat ini, agar tidak terjadi efek samping. Terutama, bila memiliki alergi pada makanan, obat, maupun bahan lain yang terkandung didalamnya,” jelasnya.
Reisa juga mengatakan bahwa Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM akan memantau peredaran Dexamethasone. Meskipun banyak beredar berita baik soal kemajuan dunia kesehatan, baik dalam negeri, maupun luar negeri, Reisa menegaskan bahwa WHO sampai saat ini belum menentukan obat atau regimen data kombinasi pengobatan yang tetap untuk perawatan pasien COVID-19.
Oleh karena itu, lanjut Reisa, hingga sejauh ini, WHO dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tetap menganjurkan agar masyarakat dapat mengikuti selalu petunjuk dari dokter. “Tidak boleh mengobati diri sendiri, hindari penggunaan antibiotik dengan tidak tepat juga, karena dapat menyebabkan resistensi terhadap jenis antibiotik yang dikonsumsi tersebut, dan sekali lagi, belum ada pengobatan COVID-19 sampai saat ini yang dapat mencegah,” kata Reisa.
Hingga saat ini, kata Reisa cara terbaik untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 adalah dengan menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker, cuci tangan dengan sabun dan air sesering mungkin dengan minimal 20 detik.