“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).


Rasulullah SAW memang suri teladan yang baik. Indikator keteladanan beliau itu berbuat sebelum berucap (bersabda).

Sebagai contoh, beliau bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang karena agamanya niscaya akan beruntunglah kamu di dunia akhirat.” (HR Bukhari, dari Abu Hurairah).

Jauh sebelum mengatakan hadis tunkahu al-Mar’ah tersebut, lalu menekankan pada agama, beliau sudah mengamalkan hadis itu terlebih dahulu. Misalnya, pernikahan beliau dengan Khadijah yang didasari hanya pada akhlak. Khadijah tertarik pada sosok Rasulullah yang mulia itu. Khadijah mendengar perangai pemuda Muhammad yang al-Amin itu dari Maisaroh, pembantunya yang diutus berdagang ke Syam bersama Muhammad. Kejujuran dan akhlak Muhammad yang akhirnya memantapkan hati Khadijah.

Muhammad pun menerima Khadijah bukan karena hartanya (limaaliha), melainkan semata-mata karena pertimbangan akhlak. Ketinggian akhlak Khadijah ini terbukti selama dia menjadi istri Rasulullah. Meskipun dari sisi finansial Khadijah lebih tinggi kedudukannya dari Rasulullah, keponakan Waraqah bin Naufal itu tetap menjadi istri secara utuh, yakni menghormati dan memuliakan Muhammad sebagai suaminya.

Maka itu, dikatakan oleh sirah nabawiyah, pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah pernikahan yang paling indah dalam sejarah umat manusia. Sebab, pernikahan keduanya didasari pada akhlak (agama), bukan kekayaan, kecantikan, maupun keturunan.

Pantaslah apabila beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Rasul SAW mengatakan hal itu, yaitu menekankan agama atau akhlak sebagai dasar cinta dan pernikahan, karena beliau sudah melakukan atau berbuat seperti yang beliau katakan. Beliau sudah membuktikan kata-katanya itu terlebih dahulu.

Inilah kunci utama dari keteladanan (uswah) Rasulullah SAW, yaitu memberi contoh (berbuat) sebelum menyuruh (mengatakan). Ini pulalah ‘hakikat keteladanan’ yang harus melekat pada diri setiap umatnya.

Sebagai kepala keluarga, misalnya, kita harus berbuat dahulu sebelum menyuruh anggota keluarga kita agar mereka mau menjalankannya. Sang ayah harus memberi contoh untuk tidak menonton sinetron terlebih dahulu, umpamanya, sebelum menyuruh anaknya. Insya Allah, sang anak akan meniru tidak menonton sinetron yang telah dicontohkan ayahnya.

Pemimpin negara demikian pula. Seorang presiden harus memberi contoh hidup sederhana terlebih dahulu sebelum menyerukannya kepada seluruh rakyat.

Marilah kita masing-masing mengaktualisasikan ‘batasan keteladanan’ ini agar kita benar-benar menjadi ‘teladan sejati’ seperti halnya Rasulullah SAW. Wallahualam.

Sumber: Republika.co.id