Oleh : Okza Hendrian Wijaya (Mahasiswa Program Master Universiti Teknologi Mara, Malaysia)

Opini- Abad ke 21 merupakan abad penuh kemajuan dan abad pencerahan baru. Demikian ungkap Steven Pinker (2018) berdasarkan perbandingan data-data selama 200 tahun. Namun ada satu hal yang terlewatkan oleh Pinker yang sepenuhnya didukung oleh pandangan peraih nobel ekonomi Joseph E. Stiglitz yaitu terdapat ketimpangan ekonomi yang tajam sebagai residu dari sistem kapitalisme. Hal ini diungkapkannya melalui tulisan yang berjudul “The Price of Inequality, How today’s Divided Society Endangers our Future dan The Great Divide Unequal Societies and What We can Do About Them”. Stiglitz berupaya menyadarkan kita bahwa ada bahaya besar yang diciptakan karena meluasnya sistem kapitalisme yang menyebabkan terjadinya kesenjangan di mana-mana di seluruh dunia. Kita diingatkan jika tidak segera terdapat perubahan tentang sistem ekonomi tersebut, maka sebenarnya kita sedang dibawa menuju lubang kehancuran.  

Istilah kesenjangan ekonomi biasa disebut dengan kesenjangan pendapatan, kesenjangan kekayaan, serta jurang antara kaya dan miskin. Kesenjangan ekonomi terus menjadi salah satu topik yang dibicarakan oleh negara-negara di dunia. Tanda yang jelas dari meningkatnya minat dalam ketidaksetaraan ekonomi adalah kepopuleran buku Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, menghadirkan sebuah sinopsis dan kontribusi besar terhadap ekonomi ketidaksetaraan.

Joseph Stiglitz (2013) dalam karyanya The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers our Future menegaskan bahwa di Amerika Serikat 1% orang terkaya menguasai 93% kue pendapatan nasional dibandingkan 99% mayoritas rakyat hanya dapat mengakses sisa dari pendapatan nasional sebesar 7%. Sehingga kenyataan tersebut memunculkan ungkapan ekonomi 99% untuk 1%. Amerika Serikat yang dulunya adalah land of opportunity sudah tidak lagi demikian adanya. Sebutan land of opportunity dianggap hanya sebuah mitos belaka. Pertumbuhan ekonomi Amerika yang amat tinggi ternyata mengerucut pada 1 % penduduknya saja dan menciptakan ketidaksetaraan. Jika berbicara tentang ketimpangan ekonomi dunia, Credit Suisse Group salah satu bank investasi dan manajemen investasi terkemuka asal Swiss, menyebutkan bahwa sejak pemulihan krisis global di tahun 2008, kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin semakin besar. Secara keseluruhan, Suisse memperkirakan bahwa 50 persen orang termiskin dunia hanya mampu menguasai total 1 persen kekayaan. Sementara 10 persen orang paling kaya di dunia mampu mendapat 89 persen kekayaan. Negara-negara dengan tingkat ketimpangan yang tinggi yakni Rusia, Amerika Serikat, dan India.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?. Oxfam Indonesia (2017) merilis sebuah hasil riset yang mengejutkan. Empat orang terkaya di Indonesia disebut memiliki kekayaan yang setara dengan 100 juta penduduk. Total kekayaan empat miliarder paling kaya di Indonesia tersebut mencapai 25 miliar dolar AS atau setara Rp 332,5 triliun (kurs Rp 13.300). Sedangkan total kekayaan 100 juta penduduk miskin jika digabungkan hanya mencapai 24 miliar dolar AS.

Dengan jumlah kekayaan tersebut, setidaknya butuh 22 tahun bagi orang terkaya di Indonesia untuk menghabiskan hartanya jika digunakan berfoya-foya 1 juta dollar (Rp. 13 milliar) per hari. Dalam laporan itu pula, disebutkan bahwa pendapatan bunga per hari orang terkaya di Indonesia melampaui 1.000 kali belanja orang miskin untuk kebutuhan pokok selama satu tahun. Hal tersebut membuat peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia.

Selama kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih tajam, sulit untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Lebih jauh, Forum Ekonomi Dunia telah mengidentifikasi pertumbuhan ekonomi yang tidak setara dapat menyebabkan ancaman bagi stabilitas sosial. Menurut penelitian Asian Development Bank (ADB), ketidaksetaraan ekonomi berdampak menghambat pengentasan kemiskinan. ADB mengatakan, 240 juta populasi dapat keluar dari kemiskinan ekstrim dalam 20 tahun terakhir jika pertumbuhan ekonomi tidak disertai ketidaksetaraan. Stiglitz memaparkan bahwa terjadinya ketidaksetaraan turut menyebabkan degradasi terhadap nilai terpenting yakni demokrasi. Semua hal yang dilakukan pemerintah dapat dikendalikan oleh orang- orang kaya untuk kepentingan sendiri. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun mulai menurun dan terjadi kesulitan dalam penerapan kebijakan pemerintah.

Ketidakpercayaan, pengkaburan informasi media dan kekecewaan masyarakat akan  menjadi rentetan dampak yang muncul sebagai konsekuensi ketimpangan yang terjadi. Masyarakat tidak hanya tidak memiliki kepercayaan terhadap oknum pemerintahan tetapi juga terhadap informasi media.

Melihat persoalan di atas, menjadi sebuah keharusan adanya aktor penyeimbang yang dapat memastikan dan memantau kebijakan negara. Disinilah peran media menjadi penting yaitu untuk memastikan dan memantau agar negara benar-benar serius menangani masalah ketimpangan. Media massa mempunyai kekuatan untuk membentuk opini public. Pengaruh media diibaratkan puluhan mata pancing yang mengenai puluhan ikan. Ikan-ikan yang terkena kail akan dengan mudah diarahkan kemanapun sesuka hati pemancing. 

Media memiliki kekuatan persuasi yang besar. Setidaknya kekuatan utama media terletak pada kenyataan bahwa media dapat membentuk apa yang diketahui tentang dunia dan sumber dari ide dan opini. Lebih jauh media dapat memengaruhi cara orang-orang berpikir.

Stiglitz (2013) berargumen bahwa persepsi memberikan peran penting bagi terciptanya ketidaksetaraan. Dalam permasalahan ketidaksetaraan ini, persepsi memberikan perannya dalam membentuk kebijakan serta pasar. Sebab pasar merupakan tempat berinteraksinya manusia yang dalam menentukan tindakannya sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap sesuatu. Stiglitz mengungkapkan bahwa 1 % populasi Amerika serikat yang memiliki kekuatan telah berhasil membentuk persepsi public tentang apa yang adil dan efisien, tentang kelemahan pemerintah dan kekuatan pasar, serta persepsi bahwa ketidaksetaraan tidak terjadi di Amerika Serikat, melalui media propaganda.

Mereka bahkan membentuk persepsi bahwa krisis yang terjadi pada tahun 2008 merupakan kesalahan pemerintah yang terlalu banyak ikut campur dalam urusan pasar. Dengan begitu, masyarakat menjadi tidak awas terhadap terjadinya ketidaksetaraan dan tetap mengikuti keinginan golongan 1% (Stiglitz, 2013).

Stiglitz selanjutnya memaparkan bagaimana pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan yang salah dalam menghadapi resesi 2008. Kebijakan tersebut nyatanya malah meningkatkan ketidaksetaraan yang sudah ada. Seharusnya jika menghadapi resesi, pemerintah berupaya meningkatkan spending (fiscal) untuk menghidupi masyarakat, tetapi pemerintah Amerika Serikat pada waktu itu justru melakukan pengetatan dengan meningkatkan pajak buruh dan mengurangi pajak pengusaha.

Program Austerity kemudian malah memperkuat swasta dan tidak berpihak pada buruh. Padahal dalam keadaan krisis, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan demand, bukan supply. Kebijakan pemerintah dibuat seolah-olah menyalahkan para pekerja yang sebenarnya merupakan korban dari krisis. Pada akhirnya pekerjaan hilang, pengangguran meningkat, dan perekonomian tidak berjalan. Sayangnya, golongan 1% tetap menang karena kebijakan pemerintah telah memulihkan sebagian kerugian mereka.

Contoh di atas mengilustrasikan bagaimana media memegang peranan penting dalam membentuk persepsi dan opini public. Namun masih digunakan hanya sekedar untuk kepentingan segelintir elite pemegang saham capital terbanyak. Hal ini senada dengan pernyataan McQuail (2010) bahwa media berita terlalu merepresentasikan kelas social “atas”, berkonsentrasi pada yang lebih dekat, lebih kaya dan negara yang lebih kuat. Edward S. Herman dan Noam Chomsky mengungkapkan Media, mengikuti argumen mereka, dan melayani tujuan elit yang dominan dimana uang dan kekuasaan mampu menyaring berita yang layak untuk dicetak, meminggirkan perbedaan pendapat, dan mengizinkan pemerintah dan kepentingan swasta yang dominan untuk menyampaikan pesan mereka ke publik. Oleh karena itu, saham yang cukup besar warga negara sama sekali atau tidak terwakili dengan baik oleh media tradisional.

Oleh sebab itu, Media harus diarahkan untuk melayani publik bukan hanya untuk melayani penguasa atau segelintir elit. Peran media harusnya menjadi actor penyeimbang terhadap pemerintahan dan melayani masyarakat. Hal ini bisa dimanifestasikan melalui inisiatif atau upaya memerangi ketimpangan ekonomi. Media harus memperlihatkan adanya ketimpangan ekonomi yang mendesak yang segera diselesaikan.. Bagaimana media memilih berita, membingkai, dan mendiskusikan isu-isu tersebut serta bagaimana hubungan penceritaan atau dalam hal ini isu ketimpangan ekonomi di mediasi kepada publik yang lebih luas. Jangan sampai isu tersebut justru terabaikan dan hanya bersemayam pada bulletin-buletin scientific yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. . Media memiliki dampak pada persepsi dan pengetahuan tentang proses ekonomi, sehingga mempengaruhi preferensi publik untuk pembuatan kebijakan ekonomi. Hal ini sejalan dengan Veblen, yang menyebut pers sebagai “sistem pendidikan”. Media tidak hanya melayani fungsi informasi, tetapi juga memainkan peran yang menentukan dalam membentuk opini dan pandangan (Grisold dan Theine 2017). (Red/Letter A)