Dalam Ilmu Ekonomi, dipelajari tentang bagaimana meramal masa depan. Analisis yang biasa di pakai adalah analisis trend dan permodelan.

Gambar pertama dibawah ini adalah Grafik yang saya ambil dari website tim pencegahan corona NTB, dari grafik ini bisa dilihat trend covid-19 mengalami peningkatan yang cukup normal, jika dalam peristiwa biasa maka penurunan dari trend ini juga akan lama. Untuk kasus covid19, bukan peristiwa biasa artinya trend nya juga bisa naik tidak normal dan menurunnya juga bisa kita buat tidak normal. Cara penurunannya? baca terus tulisan ini!

Grafik Kasus Covid-19 di NTB (Foto: Dok. Gugus Tugas Percepatanan Penanganan Covid-19 NTB)

Gambar nomor 2 adalah grafis jalur penyebaran covid-19 di NTB yang saya buat dengan sahabat saya Fathul Rakhman. Kalo dalam ekonomi jalur ini bisa saya modelkan:

Covid-19 (X) = Jumlah klaster pasien positif covid 19 (A) + pergerakan pasien positif covid19 (B) + Error (orang sehat bertemu dengan ODP dan PDP)

Atau dalam bahasa sederhananya: Covid 19 di NTB ditentukan atau dipengaruhi oleh variabel jumlah klaster pasien positif covid 19, pergerakan pasien positif covid19 dan Error.

Grafik jalur penyebaran covid-19 di NTB (Foto: Dok. Berugak Lombok)

Dari penelusuran jalur ini diketahui:
– Semakin banyak klaster pasien positif covid-19, maka jumlah kasus covid-19 di NTB meningkat (update 12 April 2020 muncul klaster baru yaitu Klaster Sukabumi)
– Semakin banyak pergerakan pasien positif covid-19, maka jumlah kasus covid-19 di NTB meningkat ( contoh pasien 01 menularkan ke pasien 02, 06, 09, 10, 25 dan pasien 04 menularkan ke pasien 14, 18, 28 dst).
– Eror, semakin banyak orang sehat bertemu dengan ODP dan PDP, maka kemungkinan jumlah covid-19 di NTB akan meningkat (muncul pasien 22, 27, dan 12, 17 yang sampai saat ini masih misteri?)

Lalu solusinya, jika ingin mengendalikan bahkan menurunkan covid 19 di NTB, maka kendalikanlah semua varibel itu. Seperti batasi orang masuk ke NTB agar tidak muncul klaster baru, pasien positif dan semua orang yang pernah bertemu/kontak dengan dia di karantina, dan Eror nya dikendalikan total.

Untuk lebih sederhana kita asumsikan 1 pasien positif pernah melakukan kontak dengan 50 orang, berdasarkan update 12 april 2020 jumlah pasien positif di NTB 37 orang, maka 37 x 50 = 1.850 orang. Cari 1.850 orang yang pernah kontak dengan pasien positif sampai ketemu, dimanapun mereka sembunyi, jika tidak mau harus dipaksa! Karantina 1.850 orang ini ditempat khusus, berikan fasilitas yang mewah agar nyaman dan imunitasnya bagus.

Baca juga:  Opini: Coronavirus, Lockdown, dan Ironi Negeri Muslim Terbesar

Asumsikan 1 orang menghabiskan biaya Rp 250.000/hari x 1.850 = Rp 462.500.000.
Karantina total selama 14 hari x Rp 462.500.000 = Rp 6.475.000.000
Ditambah dengan pasien yang mucul secara tidak terduga asumsikan biayanya Rp 4.000.000.000

Total 10 Miliaran, pemerintah NTB (provinsi dan Kab/kota) keluarkan 10 miliar untuk menyelamatkan 5 juta warganya, dari segi kemampuan anggaran tentu ini adalah jumlah yang sangat kecil.

Jadi TREND GRAFIK diatas bisa dipaksa berhenti dengan penerapan kebijakan ini. Kebijakan ini tidak bisa hanya dilakukan dengan himbauan, tapi harus dengan “paksaan”.

Apakah ada contoh Negara yang berhasil memaksa grafik nya berhenti, jawabannya ada yaitu China (lihat gambar nomor 3). Menurut media, China berhasil karena negara “memaksa” warganya untuk tidak menularkan virus ini.

Apakah ada contoh Negara yang gagal atau belum berhasil mengendalikan virus ini, jawabannya ada yaitu Italia (lihat gambar nomor 4). Menurut beritanya, Italia cenderung meremehkan dan panik ketika jumlah yang meninggal meroket.

NTB masih punya waktu untuk mengendalikannya, dan sekarang adalah waktu yang tepat! Sebelum terlambat!
Dulu sebelum ada kasus postif di NTB, banyak diantara kita yang santai dan bilang orang NTB kuat. Setelah ditemukan 1 langsung panik, sekarang sudah 37 guys.

Kelemahan orang NTB malu melaporkan ke petugas kalo dia sudah memiliki ciri-ciri covid19, agar lebih mudah mengatasi malu itu, terapkan insentif dalam setiap pelaporan. Misal kalo dia melapor dan positif covid19 berikan insentif Rp.1.500.000/orang. Insentif ini untuk mengamankan ekonomi keluarga yang ditinggalkan karena harus mengikuti isolasi selama 14 hari. Jadi orang melapor tidak perlu khawatir keluarga makan apa dirumah, dia hanya fokus penyembuhan. Jangan sampai mikirin ekonomi keluarga dirumah menambah beban dan makin susah sembuh.

Baca juga:  Perawat Terdepan Dalam Lingkaran Corona. Beresiko Tinggi, Namun Kesejahteraan Tak Pasti

Analisis ekonomi ini tentu banyak kurangnya, dan kebijakan ini adalah kebijakan pendekatan logika ekonomi, harus ditambal dengan pendekatan disiplin ilmu yang lain. Seperti ilmu komunikasi contohnya, pemerintah memberikan “paksaan” agar orang-orang yang pernah kontak dengan pasien positif mau dengan sukarela memberikan informasi dan pasien postif jujur ke pemerintah bahwa mereka sudah kontak dengan siapa saja.

Jika susah dengan pendekatan himbaun, berikan logika ekonomi. Apapaun yang terjadi, mari kita optimis bahwa covid-19 ini InsyaAllah akan segera berlalu, pasien positif covid19 bisa sembuh dan probabilitasnya tinggi. (red/Lensamandalika)

Baca juga artikel lainnya:

https://www.facebook.com/108420987408730/posts/136092424641586/