Lensamandalika.com – Mantan Sekretaris Daerah Provinsi NTB, Rosiady Husaenie Sayuti, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan NTB City Center (NCC). Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB menahan Rosiady selama 20 hari ke depan di Rutan Kelas IIB Praya, Lombok Tengah, usai pemeriksaan yang berlangsung sejak pukul 12.00 Wita hingga 15.30 Wita, Kamis (13/2).
“Tersangka inisial R yang merupakan mantan Sekda Provinsi NTB kami tahan selama 20 hari ke depan di Rutan Praya,” ujar Indra HS, Ketua Tim Penyidik Pidana Khusus Kejati NTB mengutip Lombok Post, Senin (17/2/25).
Setelah diperiksa, Rosiady yang kini menjabat sebagai Dosen di Universitas Mataram (Unram) itu langsung mengenakan rompi tahanan dan dibawa ke Rutan Praya menggunakan mobil tahanan.
“Ya, inilah perjalanan hidup saya. Kita jalani saja,” ucap Rosiady dengan nada pasrah saat menaiki mobil tahanan.
Kasus ini terkait gagalnya pembangunan NCC yang merupakan proyek kerja sama antara Pemerintah Provinsi NTB dengan PT Lombok Plaza. Berdasarkan hasil audit akuntan publik, proyek ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 15,2 miliar. Rosiady diduga menyalahgunakan wewenang sehingga menyebabkan kerugian negara tersebut.
Selain Rosiady, mantan Direktur PT Lombok Plaza berinisial DS juga telah lebih dulu ditahan di Lapas Kelas IIA Lombok Barat dalam kasus yang sama.
Opini Pakar Hukum: Tipikor atau Sengketa Perdata?
Penetapan status tersangka terhadap Rosiady menimbulkan perdebatan hukum terkait apakah kasus ini seharusnya diperlakukan sebagai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau sebagai sengketa perdata murni. Dalam hal ini, Teori Melebur menjadi relevan untuk menganalisis permasalahan hukum yang muncul.
Mengutip legal Opini dari Dr Ainuddin yang beredar di jejaring whatsapp, Teori melebur menunjukkan bahwa ketika keputusan administratif digunakan untuk mengeksekusi kontrak, keputusan tersebut secara esensial “melebur” ke dalam ranah hukum perdata. Artinya, meski keputusan dikeluarkan oleh pejabat publik, jika tujuannya untuk menimbulkan hubungan hukum kontraktual, sengketa yang timbul seharusnya diselesaikan berdasarkan prinsip wanprestasi dan bukan melalui mekanisme hukum pidana.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Mataram itu menjelaskan bahwa penerapan hukum pidana dalam kasus kontraktual perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap persoalan perdata.
“Penegakan hukum pidana harus berhati-hati agar tidak melampaui batasnya dan mengkriminalisasi masalah perdata. Ini penting agar tidak menciptakan ketidakpastian hukum dalam pengambilan keputusan administratif yang terkait dengan kontrak kerja sama,” tegasnya mengutip Legal Opini yang diterima Lensa Mandalika, Kamis (13/2/25).
Analisis dengan Teori Melebur
Dengan menggunakan teori melebur, Dr Ainuddin menjelaskan kasus NCC ini dapat dianalisis dari beberapa poin penting:
- Objek Sengketa: Kegagalan pembangunan gedung dan pengalihan hak atas lahan kepada PT Lombok Plaza merupakan permasalahan wanprestasi atas perjanjian kerja sama, sehingga masuk ranah perdata.
- Kewenangan Pejabat: Meski Rosiady menjabat sebagai Sekda saat mengambil keputusan, tindakan tersebut berkaitan dengan perjanjian kontraktual antara pemerintah dan pihak swasta. Oleh karena itu, hubungan hukum yang timbul bersifat perdata.
- Elemen Korupsi: Tindak pidana korupsi mensyaratkan adanya penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi. Namun, jika kerugian negara terjadi akibat kegagalan pelaksanaan kontrak, penyelesaiannya seharusnya melalui mekanisme perdata, bukan pidana.
“Dengan pendekatan teori melebur, perjanjian pengelolaan NCC lebih tepat dikaji sebagai sengketa perdata yang berkaitan dengan wanprestasi dan dampak ekonomi dari tidak terealisasinya proyek, bukan sebagai bukti penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri,” terangnya.
Implikasi dan Kesimpulan
Penggunaan teori melebur dalam kasus ini memberikan beberapa implikasi penting:
- Pemisahan Ranah Hukum: Kasus NCC sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme sengketa perdata untuk menentukan ganti rugi sesuai dengan prinsip hukum perdata.
- Kehati-hatian dalam Penegakan Hukum Pidana: Penegakan hukum pidana tidak boleh digunakan untuk mengkriminalisasi masalah kontraktual, sehingga batas antara sengketa perdata dan tindak pidana tetap jelas.
“Dengan penerapan teori melebur, kasus ini lebih tepat diperlakukan sebagai sengketa perdata murni, bukan sebagai tindak pidana korupsi. Aparat Penegak Hukum (APH) diharapkan fokus pada penyelesaian melalui wanprestasi dan ganti rugi, bukan melalui proses pidana Tipikor, sehingga penegakan hukum tidak menyalahgunakan wewenangnya dengan mengkriminalisasi suatu permasalahan kontraktual,” pungkasnya. (red/eds)