Lensamandalika.com – Sangkep Warige, penentuan tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan Sasak yang menjadi patokan keluarnya Nyale, kembali dianggap gagal memprediksi kemunculan cacing laut legendaris yang dipercaya sebagai jelmaan putri Mandalika itu.

Fenomena ini memicu perbincangan di kalangan masyarakat Lombok, terutama di wilayah Pujut yang menjadikan Nyale sebagai bagian penting dari tradisi budaya dan pertanian mereka.

Ketua Blok Pujut, Rata Wijaya, menjelaskan bahwa Sangkep Warige merupakan pedoman tradisional yang telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Sasak untuk menentukan waktu kemunculan Nyale.

“Sangkep Warige bukan sekadar penentuan kalender biasa. Ini adalah perhitungan leluhur yang mengaitkan siklus alam dengan kehidupan masyarakat, terutama dalam bidang pertanian dan budaya,” ujar Rate, sapaan akrabnya kepda Lensa Mandalika, Rabu (19/2/25).

Patokan Musim dan Janji Mandalika

Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, tanggal 20 bulan 10 dijadikan patokan Manse Balit, yaitu pergantian musim ketaun (musim penghujan) menjadi musim kebalit (musim kemarau).

Tanggal ini, kata Rate juga dianggap sebagai titik klimaks musim hujan yang menjadi acuan pertanian masyarakat Sasak masa lampau.

Dijelaskanya bahwa perubahan musim ini sangat memengaruhi siklus pertanian tradisional di Lombok.

“Dulu, petani menggunakan tanggal 20 bulan 10 sebagai patokan untuk memulai masa tanam. Mereka percaya bahwa ini adalah waktu terbaik karena curah hujan mencapai puncaknya dan tanah menjadi subur,” jelasnya.

Selain itu, tanggal tersebut diyakini sebagai hari Janji Mandalika, sehingga pada masa lalu penangkapan Nyale hanya dilakukan pada tanggal 20 bulan 10. Sebelum tanggal itu, Nyale yang muncul dianggap belum sempurna dan diyakini bisa menyebabkan sakit perut jika dikonsumsi, sehingga tidak boleh ditangkap.

“Keyakinan ini berasal dari kepercayaan bahwa pada tanggal tersebut, Nyale mencapai kematangan sempurna. Jika ditangkap sebelum tanggal itu, dikhawatirkan belum siap dikonsumsi dan bisa berdampak buruk pada kesehatan,” ungkap Rata Wijaya.

Nyale: Fenomena Alamiah

Menurut Rate, Nyale merupakan fenomena alam yang terjadi secara alami sebagai bagian dari siklus hidup cacing laut untuk berkembang biak. Kemunculannya dipengaruhi oleh musim dan tingkat asam basa air laut yang bercampur dengan air tawar di pesisir pantai.

Rata Wijaya menjelaskan bahwa fenomena ini bukanlah hal mistis, melainkan proses ilmiah yang terjadi karena faktor alamiah.

“Nyale muncul sebagai bagian dari siklus hidup mereka untuk berkembang biak. Mereka mencari lokasi yang tepat dengan tingkat keasaman air laut yang sesuai agar bisa melebur diri melalui fragmentasi,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa Nyale adalah makhluk hidup yang bereaksi terhadap perubahan alam.

“Fenomena Nyale bukan sekadar legenda. Ini adalah proses biologis yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu air dan musim,” tambahnya.

Kaitan dengan Legenda Putri Mandalika

Kemunculan Nyale pada tanggal 20 bulan 10 juga dikaitkan dengan legenda Putri Mandalika yang konon terjun ke laut dan menjelma menjadi Nyale.

Dalam versi lain, jelasnya, kehadiran Nyale di tanggal tersebut dianggap sebagai hasil meditasi Putri Mandalika kepada Yang Maha Kuasa, sehingga tanggal itu diwangsitkan sebagai hari moksa dengan kamuflase musim Nyale yang tengah kawin dan bertelur.

Menurut Rata Wijaya, legenda ini memiliki makna filosofis yang dalam bagi masyarakat Sasak.

“Legenda Putri Mandalika mengajarkan tentang pengorbanan dan persatuan. Nyale dianggap sebagai perwujudan kasih sayang sang putri kepada rakyatnya yang rela mengorbankan diri demi perdamaian,” tuturnya.

Rata Wijaya juga menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai budaya ini agar tidak hilang ditelan zaman.

“Kita harus melestarikan cerita ini sebagai warisan budaya yang mengajarkan kearifan lokal dan kebersamaan,” imbuhnya.

Perubahan Iklim dan Pola Alamiah

Namun, perubahan iklim global dan pola cuaca yang tidak menentu akibat pemanasan global diduga menjadi faktor yang memengaruhi kemunculan Nyale di luar prediksi Sangkep Warige.

Rata Wijaya menjelaskan bahwa fenomena cuaca ekstrem membuat pola kemunculan Nyale menjadi tidak terduga. Seperti diketahui banyak diunggah di Sosial Media, warga telah berhasil menangkap Nyale sejak tanggal 14-16 Februari, bahkan sebelumnya pada 19 Januari 2025m

“Sekarang curah hujan tidak menentu dan suhu laut juga berubah drastis. Ini memengaruhi siklus hidup Nyale yang bergantung pada kondisi alam,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa hal ini bukan berarti perhitungan Sangkep Warige salah, melainkan ada faktor eksternal yang tidak bisa diprediksi oleh metode tradisional.

“Sangkep Warige masih relevan, tetapi kita juga harus mengakui bahwa perubahan iklim global memengaruhi pola alamiah Nyale. Ini di luar kendali manusia,” tegasnya.

Terlepas dari perbedaan prediksi, masyarakat Lombok diimbau untuk tetap bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Kuasa dan Merayakan Pekan Nyale Sedunia yang berlangsung selama seminggu.

Tradisi Bau Nyale, kata Rate tetap menjadi momen yang dinanti dan dirayakan dengan meriah sebagai bagian dari warisan budaya Sasak.

“Mari kita jadikan Pekan Nyale Sedunia sebagai momentum untuk bersyukur dan menjaga kelestarian budaya Lombok. Ini adalah warisan leluhur yang harus kita jaga bersama,” ajak Rata Wijaya.

Dia juga berharap agar masyarakat tidak terlalu terfokus pada ketepatan prediksi Sangkep Warige, tetapi lebih kepada nilai kebersamaan dan pelestarian budaya yang terkandung dalam tradisi Bau Nyale.

“Inti dari Bau Nyale bukan sekadar menangkap Nyale, tetapi merayakan kebersamaan dan menghargai warisan leluhur, ” pungkasnya. (Red/lm)