Pertimbangan Jokowi untuk menerapkan Darurat Sipil bersamaan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menanggulangi corona menuai kritik. Pemerintah dinilai ingin membatasi aktivitas masyarakat dengan kewenangan lebih, tapi tanggung jawab yang lebih ringan.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai bahwa kebijakan Jokowi itu secara tak langsung mengakui bahwa pemerintah ingin melakukan karantina wilayah.

Karantina Wilayah berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan membuat pemerintah wajib menanggung biaya hidup masyarakat yang dikarantina. Diduga, hal tersebut yang kemudian dihindari pemerintah.

“Perpaduan antara kebijakan PSBB dan darurat sipil menguatkan dugaan kalau sebenarnya Pemerintah sudah merasa perlu memberlakukan karantina wilayah. Tetapi daripada memperbesar kewajiban melalui kebijakan karantina wilayah, lebih baik kewajiban berkurang tetapi kekuasaan bertambah dengan menerapkan darurat sipil,” kata Fajri dikutip dari kumparan, Selasa (31/3/2020).

Baca juga:  Kabar Gembira, Presiden Jokowi Gratiskan Tarif Listrik Untuk 3 Bulan karena Dampak Virus Corona

Bila merujuk ketentuan dalam UU, secara garis besar Karantina Wilayah dan Darurat Sipil mempunyai kesamaan. Yakni membatasi aktivitas masyarakat di tempat umum.

Namun, pendekatan antara keduanya berbeda. Darurat Sipil menggunakan pendekatan keamanan. Sementara Pembatasan Sosial Berskala Besar menggunakan pendekatan kesehatan. Dikhawatirkan, akan terjadi tindakan yang sewenang-wenang bila Darurat Sipil diterapkan.

“Cenderung (akan memunculkan) rasa takut karena pendekatannya situasi perang, dan untuk menjaga keamanan, bukan mendorong untuk masyarakat tetap sehat karena sedang berjuang melawan pendemi virus,” ujar Fajri.

Baca juga:  Breaking News: Update Covid-19 di Indonesia, 2 Kasus Baru Ada di NTB

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menyebut bahwa opsi Karantina Wilayah membuat pemerintah mendapatkan kewenangan sekaligus tanggung jawab. Hal itu yang diduga dihindari pemerintah.

“Jadi kalau Darurat Sipil hanya beri kewenangan. Sementara Darurat kesehatan dengan langkah karantida dan sebagainya itu memberikan tanggung jawab. Pemerintah cuma mau memiliki kewenangan tapi tanggung jawab enggak,” kata Refly.

Ia pun menilai pemerintah salah kaprah dalam rencana penerapan darurat sipil demi menekan penyebaran corona. Sebab, tujuan dari kedua UU itu berbeda.

“Nanti ada orang bilang ya belum tentu pemerintah pakai cara represif. Lho, bukan soal belum tentu atau tidak, senjata sudah diberikan. Kalau kita baca UU Keadaan Bahaya, itu semuanya bisa dilakukan pemerintah. Bisa menyuruh orang stay di rumah, rampas harta barang milik orang disukai atau tidak, menutup komunikasi dan lain-lain,” kata Refly dikutip dari kumparan.

Baca juga:  Permudah Pemeriksaan Covid-19 di NTB, Menkes Tunjuk Rumah Sakit Unram

Darurat Sipil

Ketentuan mengenai Darurat Sipil diatur dalam UU Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. UU ini sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Salah satu pasal dalam UU tersebut menyebutkan soal kewenangan untuk menyuruh masyarakat tinggal di rumah, yakni:

Pasal 19

Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah

Terdapat dua kategori Penguasa Darurat Sipil, yakni Pusat dan Daerah. Penguasa Darurat Sipil Pusat ialah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Sementara Penguasa Sipil Daerah ialah kepala daerah setempat.

Penguasa Darurat Sipil Pusat dapat mencabut sebagian dari kekuasaan yang diatur dalam UU ini kepada Penguasa Darurat Sipil Daerah.

Berikut beberapa kewenangan lain Penguasa Darurat Sipil Daerah:

Pasal 13

Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.

Pasal 14

(1) Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menenpatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.

(2) Pejabat yang memasuki, menyelidiki atau yang mengadakan penggeledahan tersebut dibuat laporan pemeriksaan dan menyampaikan kepada Penguasaha Darurat Sipil.

Baca juga:  Sudah Ramai Dipakai, Semprot Disinfektan Ternyata Berbahaya. Ini Kata WHO

(3) Pejabat yang dimaksudkan di atas berhak membawa orang-orang lain dalam melakukan tugasnya. Hal ini disebutkan dalam surat laporan tersebut.

Pasal 15

(1) Penguasa Darurat Sipil berhak akan dapat menyuruh memeriksa dan mensita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.

(2) Pejabat yang melakukan pensitaan tersebut di atas harus membuat laporan pensitaan dan menyampaikannya kepada Penguasa Darurat Sipil dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.

(3) Terhadap tiap-tiap pensitaan, pembatasan atau larangan, maka yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Penguasa Darurat Sipil.

Pasal 16

Penguasa Darurat Sipil berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.

Pasal 17

Penguasa Darurat Sipil berhak:

1. Mengetahui,semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor tilpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan tilpon atau radio;

2. Membatasi atau melarang pemakaian kode-kode, tulisan rahasia, percetakan rahasia, tulisan steno, gambar-gambar, tanda-tanda, juga pemakaian bahasa-bahasa lain dari pada bahasa Indonesia;

3. Menetapkan peraturan-peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat telekomunikasi sepertinya tilpon, tilgrap, pemancar radio dan alat-alat lainnya yang ada hubungannya dengan penyiaran radio dan yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga mensita atau menghancurkan perlengkapan-perlengkapan tersebut.

https://www.facebook.com/108420987408730/posts/129128798671282/

Pasal 18

(1) Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus diminta-idzin terlebih dahulu. ldzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat.Yang dimaksud dengan rapat-rapat umum dan pertemuan-pertemuan umum adalah rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan umum yang dapat dikunjungi oleh rakyat umum.

(2) Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.

(3) Ketentuan-ketentuan. dalam ayat (1) dan (2) pasal ini tidak berlaku untuk peribadatan, pengajian, upacara-upacara agama dan adat dan rapat-rapat Pemerintah.

Pasal 20

Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.

Pasal 21

Untuk pelaksanaan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan Penguasa Darurat Sipil, anggauta-anggauta Kepolisian, badan-badan pencegah bahaya udara, dinas pemadam kebakaran dan dinas-dinas atau badan-badan keamanan lainnya ada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.

Karantina Wilayah

Terdapat 3 jenis karantina dalam UU Kekarantinaan Wilayah. Yakni Karantina Rumah, Karantina Wilayah, serta Karantina Rumah Sakit. Selain tiga itu, terdapat upaya mitigasi lain, yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar.Untuk pembatasan aktivitas di rumah, diatur dalam Karantina Rumah.

Pada Pasal 50, disebutkan bahwa Karantina Rumah dilakukan bila ditemukan ada kasus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di satu rumah. Karantina itu membuat penghuni dilarang keluar dari rumah tersebut selama waktu yang ditetapkan.

https://www.facebook.com/108420987408730/posts/129438478640314/

Selama dikarantina, kebutuhan hidup ditanggung Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.Sementara lockdown dalam UU itu merujuk ke Karantina Wilayah.

Karantina Wilayah dalam UU ini disebutkan adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Selama dikarantina, kebutuhan hidup orang di wilayah tersebut ditanggung Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak terkait.

Berikut Pasal 53-55 yang mengatur soal Karantina Wilayah:

Pasal 53

(1) Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

(2) Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.

Pasal 54

(1) Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan Karantina Wilayah.

(2) Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.

(3) Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.

(4) Selama masa Karantina Wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi maka dilakukan tindakan Isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit.

Pasal 55

(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.

(red/lensamandalika.com)