Lensamandalika.com – Penetapan tanggal Bau Nyale tahun ini menuai sorotan setelah fenomena minimnya Nyale yang ditemukan pada tanggal 19 Februari yang merupakan puncak acara Bau Nyale 2025.
Berdasarkan Sangkep Warige yang digelar sebelumnya sebagai penentuan waktu Bau Nyale, tanggal 19 Februari diyakini sebagai tanggal 20 bulan 10 sesuai penanggalan sasak sesuai janji Mandalika.
Banyak pihak menduga Nyale tidak banyak dijumpai pada tanggal tersebut karena sudah muncul dan ditangkap sejak tanggal 15 Februari 2025, bahkan telah terlihat sejakpertengahan Januari 2025.
Pakar ilmu lingkungan pesisir, Dr.(C). H.M. Nujumuddin, SP., M.Si., mempertanyakan akurasi penentuan tanggal Bau Nyale yang ditetapkan melalui Sangkep Warige. Dia mengungkapkan bahwa selama ini dirinya tidak pernah dilibatkan dalam proses penetapan tanggal tersebut.
“Padahal, penentuan tanggal Bau Nyale sangat penting untuk dirumuskan secara bersama-sama. Saya tidak tahu siapa saja yang hadir dalam Sangkep Warige itu, tetapi menurut informasi yang saya dengar, ada budayawan dan ahli astronomi. Namun, saya tidak tahu siapa budayawan dan ahli astronomi yang dimaksud,” ujarnya melalu keterangan tertulis yang diterima Lensa Mandalika, Kamis (20/2/25).
Nujumuddin menilai keterlibatan budayawan dalam Sangkep Warige kurang relevan, karena menurutnya tidak ada korelasi langsung antara penentuan tanggal Bau Nyale dengan aspek budaya.
“Jika benar yang dihadirkan adalah budayawan, saya rasa pemrakarsa Sangkep Warige salah dalam memilih narasumber. Seorang budayawan harus memahami tiga aspek, yaitu mindset, artefak, dan sosiokultural. Tidak cukup hanya dengan bisa membaca takepan daun lontar atau menjadi dalang wayang,” tegasnya.
Dia juga mempertanyakan keberadaan ahli astronomi yang disebut-sebut hadir dalam Sangkep Warige.
“Ada yang mengatakan penetapan tanggal Bau Nyale didasarkan pada posisi Bintang Rowot. Pernyataan itu menurut saya malah membuat penetapan tanggal Bau Nyale menjadi ngelantur. Selama ini, penetapan waktu Bau Nyale selalu berdasarkan bulan langit pada hari ke-20, bukan bulan Hijriyah,” jelasnya.
Mahasiswa program doktoral ilmu lingkungan Universitas Brawijaya itu juga menjelaskan bahwa dalam kajian ilmiah, Cacing Nyale (Palola viridis) hidup di perairan pantai karang mati dengan penyinaran sempurna ke dasar laut dan ombak yang baik. Spesies ini tersebar di perairan Pasifik, termasuk di Samoa, Tonga, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Papua Nugini, dan Asia Tenggara. Menurutnya, cacing Nyale bahkan bisa dibudidayakan sebagai pakan unggas seperti yang telah dilakukan masyarakat di Bogor.
Menanggapi fenomena munculnya Nyale sebelum tanggal 20 penanggalan Sasak yang dimaksud pada Sangkep Warige, Nujumuddin menduga hal ini terjadi karena migrasi koloni Nyale ke habitat lain.
“Pantai Seger sebagai habitat utama Nyale mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia di sekitarnya, sehingga Nyale bermigrasi ke tempat yang lebih aman,” ungkapnya.
Sebagai solusi untuk meningkatkan akurasi penentuan tanggal Bau Nyale, Nujumuddin telah menyusun kalender Bau Nyale untuk sepuluh tahun ke depan, yakni dari tahun 2026 hingga 2035.
“Saya sudah membuat kalender Bau Nyale yang lebih akurat. Silakan Pemda Kabupaten dan Pemprov menggunakan kalender yang telah saya susun tersebut,” pungkasnya. (Red/LM)